02

158 15 8
                                    


.

Orang Baru

.

Aku mendengar kebisingan di malam ini, eh subuh atau malam ya? Langit masih gelap, tapi suara melengking Fanny sudah keluar bebas. Sekarang ia ada dalam kamarku.

"Claude, ayo bangun!"

Katanya begitu sampai di ujung kasurku. Aku menolak, menutup kedua telingaku dengan bantal. Fanny mengguncangkan badanku hingga aku benar-benar bangun, "Ayo bangun."

"Tidak mau."

"Aku akan membantingmu."

"Terserah! Aku tak peduli."

Sejurus kemudian aku benar-benar dalam kuncian tangannya, Fanny membantingku namun badan kecilnya aku tarik juga hingga kami jatuh bersama. Badanku sakit, kesal sekali rasanya. Maksudku, hey, ini masih subuh dan aku baru saja bangun. Hal menyebalkan seperti ini sudah saja menimpaku.

"Hehehe. Sudah bangun ya? Ayo temani aku."

"Mau apa? Kemana?"

"Melihat bintang."

Gadis pirang itu bangkit dan membuka tirai jendela, hamparan langit gulita dihiasi fajar yang menyingsing terpampang jelas di depan mataku walau sedikit terhalang nako, tapi bukan masalah besar, "Ayo, kita kihat bersama!"

"Sekarang jam berapa?" Tanyaku seraya mengusap wajah. Fanny semangat sekali, sampai tega membangunkanku dengan cara sadis seperti tadi.

"Masih jam 4 pagi. Ayo lihat langit."

"Tch, kalau tidak bagus ku tinggal tidur."

"Bagus tau! Ayo ikut saja."

Aku ditarik keluar kamar, ia mengambil selimut miliknya lalu menarikku lagi ke halaman belakang rumah, ada gazebo di sana. Woah, aku baru tahu.

Ia mendudukkan dirinya di gazebo itu, aku mengikut saja biar dia senang. Kami berdua memandang hamparan permadani legam bertabur kerlap-kerlip bintang. Aku melihatnya sekilas, gadis itu tengah melamun. Angin sepoi-sepoi menghampiri kami, dingin sekali sampai-sampai aku merampas selimut Fanny.

"Punyaku!"

Aku bak tak punya telinga, biarkan saja Fanny mengoceh tanpa makna, aku tak peduli. Tak lama kemudian, gadis itu memeluk lututnya dengan raut kesal akibat rengekannya tak ku gubris, ah imutnya. Aku menyampirkan sebagian selimut ini ke bahu Fanny.

.
.

Sudah pukul 6 sore. Cafe memasuki waktu istirahat sampai 20 menit, aku bersembunyi di bawah meja kasir. Hmm, tidak bersembunyi sih, aku hanya ingin mencari tempat bersandar yang sejuk karena di sini ada kipas mini milik Fanny.

Aku baru tahu kalau Fanny jadi kasir. Ia terus melempar senyum lebar pada pelanggan, sampai-sampai ada yang kecantolan. Aku bisa tahu dari tatapannya! Benar-benar terpampang jelas. Namun wanita konyol itu mungkin tidak sadar.

Fanny sedang pergi ke belakang, di ruangan staff. Ia memberikan servis pada teman-teman. Misalnya mengoleskan pelembab ke tangan kasar Granger, ia terlalu banyak mencuci piring. Lalu memanjakan Harith, memijat Tigreal dan Paman Franco, sekalian berbincang hangat bersama mereka. Alucard malah menghilang, maksudku cowok itu ada di luar berduaan dengan gadis cantik bersurai platina.

Tch, aku sendirian. Apa harus ku hampiri ke belakang ya? Tapi aku sudah terlanjur nyaman duduk di sini. Eh, itu dia datang kemari, Fanny membawa dua botol air mineral dingin. Ia menyodorkan satu padaku.

"Minum. Kamu pasti lelah," katanya. Aku mengangguk dan langsung meminumnya rakus, tak sampai dua menit air di botol ini sudah raib, "Pelan-pelan, Claude. Nanti tersedak."

"Harusnya ingatkan dari tadi, minumku sudah habis."

"Tak perlu diingatkan seharusnya sudah tahu. Kamu ini bagaimana sih?"

"Hahaha, aku haus. Terimakasih minumnya."

"Sama-sama. Bagaimana rasanya kerja di sini?"

"Menyenangkan. Apron Alucard membuatku semakin tampan."

Fanny mengerling malas, ia ikut bersandar di sebelah ku dan menghabiskan air minumnya. Aku memandang kosong ke depan, "Perempuan yang rambutnya warna merah itu, kamu kenal?"

"Oh, dia Irithel."

"Kalau yang sama Alucard siapa namanya?"

"Miya."

"Dia cantik."

Fanny terkekeh kecil, aku membuang muka, malu dilihat olehnya, "Tak cuma cantik, dia baik seperti peri. Kalau kamu suka sama dia, mending mundur."

"Kenapa?"

"Nanti Alucard marah."

"Miya itu pacarnya Alucard?"

"Masih proses."

Aku menghela nafas panjang lalu membuangnya lagi, "Kalau Irithel?" Tanyaku. Ia tampak berpikir sejenak.

"Aku tak terlalu dekat dengannya. Dia cuma pelanggan setia cafe ini. Dia baik mungkin? Entahlah."

"Jawaban macam apa itu?"

"Hehehe, maaf."

Jariku terangkat untuk menyentil dahinya, ia mengaduh sakit lalu mengelus dahi malang tersebut, "Sebentar lagi istirahat selesai. Sana pergi!"

Jahat sekali, aku diusir oleh gadis konyol ini. Aku memutuskan untuk bangkit dan berjalan menghampiri Irithel yang tengah duduk manis di kursi luar.

"Permisi, boleh kenalan?"

Gadis itu melirikku hangat, "Boleh," katanya sambil menepuk bangku di samping. Mengisyaratkanku agar duduk di sebelahnya, "Jadi, siapa namamu?"

"Aku...panggil saja Claude. Kamu?"

"Aku Irithel, salam kenal ya."

Kami berjabat tangan dalam senyuman kecil. Hening sejenak karena tak ada yang memulai percakapan, otakku juga mempat kehabisan ide. Syukurlah ia mengajakku berbicara terus, akal perempuan memang keren.

Ia merupakan pecinta hewan, gadis ini memelihara leopard. Ah, aku jadi teringat akan Dexter, "Apa kamu suka monyet?"

"Humm, tak terlalu. Kamu pelihara monyet ya?"

"Iya, dia baru saja mati kemarin."

Raut sedihku kentara, ia menyadarinya dan langsung mengelus-elus pundakku. Aku tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, aku tak ingin melupakan momen ini. Sepertinya aku mulai tertarik dengan Irithel, "Tak usah sedih. Nanti aku akan mengajakmu bermain bersama Leo."

Kami sama-sama melempar senyum tipis yang manis. Wanita pirang pendek menyebalkan yang sok imut-tapi memang imut-itu mengganggu suasana. Aku kembali mendengar teriakan cemprengnya, "Claude, ayo cepat ambil nampanmu!"

"Fanny sudah memanggilku. Kapan-kapan ngobrol lagi ya," ucapku tanpa menoleh padanya. Ia menahan lenganku, "Se-semangat!"

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang