5. Keberangkatan.

485 50 16
                                    

Jaket putih beserta celana panjang krem biasanya menjadi busana standar bagi Solar untuk bepergian, terutama jika ia bepergian dengan menggunakan angkutan udara. Haram hukumnya bagi Solar terlihat berpenampilan lusuh atau jauh dari kata rapi jika ia harus menaiki pesawat tujuan internasional dan kemungkinan akan bertemu dengan banyak orang.

Namun pagi itu busana Solar berbeda daripada biasanya. Dia memilih untuk mengenakan jaket semi kulit berwarna krem dipadu dengan kemeja berwarna cokelat tua. Celana pajang berwarna abu-abu gelap pun menjadi pelengkap penampilan Solar selagi ia menunggu jam keberangkatannya di terminal bandara udara internasional Kuala Lumpur.

Pagi itu Solar memilih untuk menghabiskan waktu di Sebuah kafe kecil di daerah kounter check in keberangkatan menjelang awal perjalanannya mencari seorang kakaknya yang dikabarkan hilang. Segelas kopi hangat menemani Solar membaca-baca perihal mengenai kota Venice di ponselnya sembari menunggu waktu untuk check in ke dalam terminal bandara.

Pagi itu Solar tidak sendirian. Duduk berdampingan dengannya adalah seorang kakaknya yang tengah menikmati sarapan berupa sandwich keju.

Solar melepaskan tatapan netra peraknya dari layar ponsel. Dia melirik ke arah si kakak yang bernetra biru safir, yang tengah menikmati potongan roti sandwich keju dengan lahapnya.

"Ngapain kamu beli sandwich begitu, Kak?" tanya Solar sembari memperhatikan potongan roti di tangan Taufan yang semakin mengecil dilahap.

"Aghu laphah," jawab Taufan dengan mulut yang penuh.

"Ish! Telan dulu, lah!" ketus Solar yang sama sekali tidak setuju dengan perilaku si kakak. "Kak Ufan ... kamseupay!"

Taufan buru-buru menelan potongan sandwich yang sedang dikunyahnya. "Hey, aku ngga kampungan ya ..." balas Taufan yang tidak mau kalah sewot dengan adiknya. "Aku lapar, tadi pagi ngga sempat sarapan."

Selain kakaknya itu, Solar ditemani juga oleh Gamma yang sedang menikmati secangkir teh hangat. Jari kelingking kanan remaja itu mencuat lurus ke depan saat ia menyeruput teh hangatnya tanpa bersuara sedikit pun. Ketika meletakkan cangkirnya pun Gamma bergerak sangat teratur, bisa dikatakan anggun dan gemulai.

"Kakakmu itu benar, Solar. Seharusnya kalian sarapan dulu," ucap Gamma dengan mengulas senyum. Belum pernah dia melihat interaksi Solar dengan kakaknya dan bagi Gamma, hal itu sangat menarik. Betapa jauh perbedaan sifat dan sikap yang terlihat oleh Gamma diantara Solar dan Taufan.

Gamma mengenal Solar sudah sangat lama. Dia tahu persis kebiasaan sahabatnya itu yang sangat berhati-hati menjaga sikap dan selalu berusaha tampil profesional di muka umum. Jauh berbeda dengan kakaknya, Taufan yang sangat ekspresif dan tidak mengenal kata jaim (jaga image).

"Taufan mau scone? Atau crumpet mungkin?" Gamma menawarkan beberapa jenis kue yang terhidang bersamaan dengan teh hangatnya kepada remaja bernetra biru safir yang duduk berseberangan.

"Boleh deh, aku mau cicip." Segera Taufan meraih sebuah kue berbentuk bundar. Kue itu sudah terbelah dua secara horizontal dan diantara belahannya terdapat krim dan selai strawberry. Dalam sekali gigitan saja, kue kecil itu menghilang ke dalam rongga mulut Taufan.

"Waf enfak fuga," gumam Taufan selagi ia mengunyah kue scone di dalam mulutnya. "Agfu mefti cfari refepnya," ucapnya lagi sebelum menelan kue scone itu masuk ke dalam kerongkongannya.

Kelakuan Taufan berbicara dengan mulut penuh makanan itu membuat Solar memutar bola matanya ke atas. Dia hanya menggelengkan kepalanya saja sebagai tanda tidak setuju dengan kelakuan kakaknya itu namun enggan berkomentar secara verbal.

"Kue scone itu wajib dihidangkan bersama teh hangat, sesuai dengan tradisi Inggris." Gamma ikutan meraih sepotong kue scone. Berbeda dengan Taufan, Gamma menggigit sedikit demi sedikit kue scone yang dipegangnya itu. "Sebetulnya ini makanan selingan untuk di sore hari, tapi untuk sarapan pagi juga bisa," ucap Gamma lanjut menjelaskan perihal kue yang tengah ia nikmati.

KeabadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang