9. Rencana Berikutnya

302 50 9
                                    

Bukan cahaya terang yang pertama kali menyambut Taufan ketika ia merasakan kesadarannya mulai kembali bersamanya, namun sebuah rasa sakit nyeri berdenyut-denyut dari tengkuknya yang menyambut Taufan ketika ia mulai kembali ke alam sadarnya.

"Kak Taufan oke kah?"

Suara Solar yang mampir di indera pendengaran Taufan terdengar sayup-sayup seakan si adik tengah memanggilnya dari kejauhan. Butuh waktu beberapa saat lagi bagi Taufan untuk memulihkan kembali kesadarannya, paling tidak sampai seluruh indera-inderanya kembali berfungsi.

Wajah Solar dan AyuYu adalah pemandangan yang pertama kali dilihat oleh Taufan ketika dia membuka kedua kelopak matanya. Beberapa kali Taufan menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk memulihkan pengelihatannya yang masih sedikit mengabur.

"Uh ... leherku sakit, rasanya seperti ditabok Halilintar," keluh Taufan. Dia memijit tengkuknya yang terasa nyeri dengan harapan mengurangi rasa nyeri yang berdenyut itu.

"Yah, mimimal Kak Ufan ngga kena culik," Solar menimpali. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepada si kakak yang sedang berusaha untuk bangun.

Taufan melirik ke atas, ke arah Solar sebelum mengamit tangan si adik yang terulur. "Siapa mereka?" tanya Taufan ketika ia sudah kembali berdiri.

"Nanti kuceritakan," jawab Solar. Dia menarik Taufan dan mengajak AyuYu untuk menjauh dari kerumunan penduduk dan turis kota Venice yang memperhatikan ketiganya. "Kita kembali ke hotel dulu."

Taufan membuka mulutnya untuk memprotes ajakan Solar, namun dia segera menyadari bahwa dirinya sedang menjadi perhatian dan tontonan banyak orang. "I-iya, nanti di hotel saja," ucap Taufan setelah berdehem beberapa kali dan menepis debu yang menempel di bajunya.

Memang sulit untuk memasang tampang datar tanpa ekspresi dibawah tatapan banyak orang, namun Taufan sudah terbiasa memasang tampang seakan tanpa dosa sedikit pun. Dengan sebuah cengiran ceria menghias wajahnya, Taufan berhasil menutup canggung dan rasa nyeri yang masih berdenyut dari tengkuknya.

Sama dengan kedatangan, Solar dan Taufan menumpang sebuah kapal boat cepat ketika mereka meninggalkan kota Venice dan menuju kota Fusina. Hanya kapal boat cepat itu satu-satunya transportasi yang menghubungkan daratan utama Italia dengan kota Venice dan perjalanan kembali menuju daratan utama Italia diperkirakan memakan waktu lebih lama karena arus air laut yang berubah.

"Wheeee!" Taufan berseru riang. Dia berdiri tepat di ujung haluan kapal boat yang naik-turun menaiki gelora gelombang di Laut Adriatik. Ulu hati Taufan terasa hampa saat dirinya terlepas dari pengaruh gravitasi bumi karena kapal boat yang ia tumpangi nyaris melompat ketika terhempas gelombang laut. Sensasi yang dirasakan oleh Taufan itu cukup menyenangkan untuk mengalahkan rasa sakit yang sempat ia derita di bagian tengkuknya.

"Awas nanti kamu jatuh, Kak," Dari kabin kapal boat, Solar berjalan menghampiri Taufan. Dengan bijaknya, Solar berjalan mendekati si kakak sembari memegangi rel pembatas lambung kapal itu.

Taufan terkekeh kecil melihat kelakuan si adik. Entah mengapa Solar yang berjalan sambil memegangi rel pembatas lambung kapal itu membawa memori lama ketika dia dan adik-adiknya masih berusia belasan tahun, sebuah kehidupan  dimana segalanya tampak indah tanpa ada kesulitan dan tantangan.

"Takut, Sol? Memang kamu ngga bisa berenang?" ledek Taufan ditengah suara deburan ombak terbelah haluan kapal boat dan suara deruan mesin.

"Bisa, lah," bantah Solar. Kini dia berdiri di samping si kakak yang bernetra biru safir. "Cuma, pasti bakal merepotkan kalau aku atau kamu jatuh dari kapal ...."

Sebuah senyum kecil melintas di bibir Taufan setelah ia mendengar jawaban balik dari si adik. "Sampai sekarang aku masih heran lho. Kenapa kamu bisa jadi ikutan suka arkeologi seperti Gempa."

"Entah?" Solar mengedikkan bahunya. "Mungkin karena aku merasakan banyak pertanyaan mengenai dunia ini dan masa lampau yang bisa di jawab dengan arkeologi ini? Lagipula lewat arkeologi ini, aku bisa jadi terkenal, bahkan namaku jadi abadi."

"Betul juga ya?" ucap Taufan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Daripada jadi akuntan macam kamu, Kak .... Kerjanya cuma di belakang meja melulu." Lanjutlah Solar berceletuk jahil sembari memasang tampang yang dibuat-buat sepolos mungkin.

"Hey," ketus Taufan disusul dengan dengkusan kesal. Serta merta si kakak bernetra biru safir itu menyerocos, membela diri. "Biarpun akuntan, kerja di belakang meja, gajiku besar lho. Mobilku saja Ferrari, tahu!"

Alih-alih terkesan, Solar malah tertawa terbahak-bahak. "Ya, Ferrari Dino 308 butut yang startnya saja mesti didorong-dorong," ledek Solar lagi di akhir tawanya.

Taufan langsung melipat kedua tangannya di depan dada. Raut wajahnya cemberut dengan gerutuan mengalun dari bibirnya yang mendadak monyong. "Biar butut tetap saja Ferrari, kuda jingkrak!"

"Iya sih." Solar mengalah dan membiarkan Taufan sedikit terhibur. "Boleh dibilang langka mobilmu itu, Kak."

"Nah 'gitu dong," ucap Taufan. Senyum remaja bernetra biru safir itu perlahan kembali mengambang, menghiasi wajahnya yang berangsur ceria seperti sediakala. "Nah, sekarang bagaimana dengan Gempa? Siapa mereka yang memukul aku tadi itu?"

Solar menghela napas panjang. Kedua netra perak kelabunya menatap ke arah cakrawala laut Adriatik tanpa terfokus. "Mereka adalah anggota kelompok Pedang Salib. Tugas mereka menghalangi bahkan melenyapkan orang yang mencari Cawan Suci ...."

Jawaban Solar itu membuat Taufan meneguk ludah. Air muka  si kakak pun kontan bertukar menjadi kaku dan tegang. Tidak perlu otak jenius pula untuk menghubungkan hilangnya Gempa yang sedang mencari Cawan Suci dengan kelompok yang baru saja berseteru dengan Solar. "Ka-kalau begitu .... Gempa .... Dia dalam bahaya!"

Solar menjawab dengan anggukan kepala. "Ya, aku juga dapat keterangan mengenai keberadaan Kak Gempa. Menurut kelompok tadi itu, Kak Gempa sekarang ada di Russia."

"Hah?" Kelopak kedua netra biru safir Taufan mengedip cepat. "Di mana tadi kamu bilang?" tanya Taufan yang tidak percaya dengan kata-kata yang terucap dari mulut adiknya.

"Russia, Moskow," ucap Solar sekaligus menambahkan detail isi jawabannya kepada Taufan. "Aku juga ngga tahu kenapa bisa Kak Gempa sampai di bawa ke sana."

Taufan terdiam setelah mendengar jawaban dari Solar. Raut wajah si kakak yang biasanya ceria itu langsung bertukar menjadi serius. Senyum lebar yang senantiasa menghias bibir Taufan lenyap ketika si empunya memutar otaknya.

"Kenapa sampai ke Russia ya?" tanya Taufan sembari menolehkan kepalanya ke arah Solar.

"Entah, ini cuma tebakanku." Dari belakang, AyuYu menghampiri kedua bersaudara yang berdiri di haluan kapal boat. "Tapi aku merasa ada organisasi besar yang mengincar Cawan Suci dan kebetulan Gempa adalah kunci untuk menemukan benda itu."

Secara bersamaan Solar dan Taufan menengok ke arah AyuYu. Kedua kakak beradik itu membisu dan menatap kepada AyuYu seolah menantikan penjelasan lebih lanjut.

"Kita hanya bisa tahu kalau kita menyusul ke Russia," lanjut AyuYu. "Masalah Cawan Suci bisa menyusul kemudian, yang lebih penting adalah Gempa."

Tidak ada perdebatan. Pendapat AyuYu sudah mewakili apa yang hendak Solar utarakan. Memang menemukan Cawan Suci akan menjadi puncak karir Solar sebagai arkeolog, namun karir tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan keselamatan kakaknya. Bahkan Solar tidak perlu berpikir panjang untuk membuat keputusan dan memilih jalan yang dianggapnya terbaik.

"Kalau begitu, AyuYu .... Hubungi Gamma. Bilang ke dia kalau kita perlu tiga tiket yang paling awal ke Moskow, Russia."

.

.

.

Bersambung.

Maaf chapter ini agak pendek, tapi jangan khawatir karena ceritanya masih terus berlanjut.

KeabadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang