Sebuah kapal motor kecil membelah luasnya Laut Adriatik yang memisahkan daratan utama sisi Eropa dengan kota Venice. Ukuran kapal itu memang tidak besar, namun cukup untuk berfungsi sebagai feri pengantar penumpang mengarungi Laut Adriatik. Hampir dua puluh menit yang lalu, kapal motor itu mengangkat sauh dari pelabuhan di kota Fusina dan berlayar menuju pulau Venice.
Di haluan kapal kecil itulah Solar berdiri. Tubuhnya bersandar condong ke depan pada rel pegangan tangan melawan terpaan angin saat kapal yang ditumpanginya melaju pada kecepatan penuh. Surai putih diantara rambut hitam yang memjadi ciri keluarga Solar berkibar dengan gemulainya diterpa angin yang berlalu dengan begitu cepatnya.
Tatapan netra perak Solar terpaku pada sebuah daratan di kejauhan. Bangunan-bangunan berarsitektur kuno namun sangat terawat terilhat bertengger di atas daratan seakan telah menanti dan siap menyambut kedatangan Solar dan kakaknya, Taufan.
Venice adalah sebuah kota yang unik. Tidak ada mobil lalu-lalang di kota kecil itu. Tidak ada jalanan yang mampu menampung besarnya mobil, namun kota itu dianugerahi aliran kanal-kanal yang dipergunakan sebagai sarana bepergian dari satu daerah ke daerah lain. Sebagai pengganti mobil para penduduk kota Venice menggunakan perahu bermotor kecil atau perahu dayung yang disebut gondola untuk bepergian. Bonus dari tidak adanya mobil di kota Venice adalah tidak adanya jalanan beraspal. Seluruh jalanan di kota itu berlapiskan marmer alami Italia yang tersohor karena tekstur dan kekuatannya.
Namun sebagai kota yang juga merupakan tujuan wisata terkenal di belahan bumi Eropa, kota Venice tidak luput dari permasalahan. Jalanan kota Venice yang memang berukuran kecil masih pula dipersempit dengan adanya tenda-tenda dan kios-kios penjual cinderamata. Tidak jarang keberadaan kios dan tenda para penjual cinderamata itu membuat jalan yang bisa dilalui oleh pejalan kaki menjadi sedemikian kecil sehingga hanya bisa dilewati oleh satu atau dua orang saja.
Beruntung kota itu tidak dipenuhi bangunan tinggi atau pencakar langit. Dikombinasikan dengan tidak adanya mobil di kota itu, udara di kota Venice terasa jauh lebih segar, bercampur dengan aroma laut yang samar-samar mampir di indera penciuman para pengunjungnya.
"Ah, Venice," ucap Solar saat ia menjejakkan kakinya di atas dermaga. Setelah mengarungi Laut Adriatik selama dua puluh lima menit dari kota Fusina, Solar dan Taufan akhirnya tiba di kota tujuan mereka.
"Wuah .... Bangunannya ... antik-antik." Kekaguman terlihat di wajah Taufan selagi ia memandangi bangunan-bangunan kuno yang menghampar di sekeliling dermaga. Tak henti-hentinya remaja bernetra biru safir itu menoleh kesana-kemari sembari mencerna pemandangan yang dilihatnya.
Ponsel pun dikeluarkan oleh Taufan dari saku celananya. Segara saja dia mengabadikan pemandangan bangunan-bangunan kuno, kanal-kanal yang membelah-belah kota kecil itu dan tidak lupa selfie dirinya sendiri.
Tidak lama berselang Solar mulai merasakan getaran-getaran lembut di saku celananya. Tanpa memeriksa sakunya pun Solar tahu bahwa getaran-getaran itu berasal dari ponsel miliknya yang menerima notifikasi secara beruntun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keabadian
FanfictionRunner up ke-3 Indonesia Fanfiction Award. Semuanya bermula ketika Solar menerima sebuah buku tua yang dikirimkan oleh saudaranya. Di dalam buku tua itu tersebutlah sesuatu benda yang telah dianggap hilang selama dua ribu tahun lebih dan menjadi inc...