15. Tiga Ujian.

196 35 6
                                    

Degup jantung Solar semakin kuat dan semakin cepat saat ia melangkahkan kedua kakinya ke dalam gua. Waktu ratusan tahun telah membat gua itu menjadi rumah yang nyaman bagi koloni laba-laba yang membuat jaringan sarang yang hampir menutup jalan.

Kedua manik netra kelabu Solar bergerak cepat mengamati keadaan sekitar seakan sedang mencari sesuatu yang telah membuat beberapa bodyguard Gamma bertumbangan di lantai gua. Sesuatu dari gua itu telah membuat para bodyguard itu tumbang dan jasad mereka semua memiliki ciri yang sama yaitu kepala mereka terlepas dari tubuh.

Pemandangan yang menyakitkan itu membuat Solar meneguk ludah. Tentu saja dia enggan bernasib sama dengan para bodyguard yang bergelimpangan tanpa nyawa. Oleh  karena itulah Solar komat-kamit menggumamkan petunjuk yang sempat dikatakan oleh Gempa.

"Hanya yang bertobat bisa lewat," gumam Solar selagi ia berjalan semakin jauh ke dalam gua.

"Hanya yang bertobat ...." Tanpa henti Solar menggumam.

Tidak disangka, angin mulai berhembus di dalam gua dan membuat jaringan sarang laba-laba pada langit-langit dan dinding gua mulai bergerak. Semakin kencang terasa angin menerpa, semakin kuat pula rasa teriris ngilu di dalam perut Solar.

Mati-matian Solar berusaha untuk tidak panik. Otak jeniusnya terus berputar mengartikan petunjuk dari Gempa. "Orang yang bertobat ... rendah diri .... Orang yang bertobat ... BERLUTUT!"

Tanpa membuang waktu, Solar langsung berlutut. Apa yang terjadi berikutnya cukup membuat darah Solar terasa membeku.

Angin yang terasa itu berasal dari putaran sebuah cakram besar yang mendadak mencuat keluar dari diding gua. Cakram itu berputar kencang menerjang apa saja yang menghalangi, termasuk leher manusia yang berdiri tegak.

Terpaksa Solar merelakan beberapa helai rambut di kepalanya karena tebasan cakram. Walau begitu, masih lebih baik kehilangan beberapa helai rambut daripada kehilangan kepala.

Pada dinding gua, tidak jauh dari cakram besar itu Solar melihat rangkaian roda gigi yang juga berukuran cukup besar. Tanpa membuang waktu, Solar langsung menyelipkan pecahan batu yang berukuran cukup besar di antara rangkaian roda gigi itu dan sukses menghentikan putaran cakram.

"Sukses! Aku lewat!" Suara Solar yang terdengar sampai di luar gua membuat Taufan bernapas lega.

"Buruan, Solar!" Taufan balas berteriak. "Gempa sekarat! Keburu mati dia nanti! ADUH!"

Walau terluka, cubitan Gempa masih terasa ama saja dahsyatnya di pinggul Taufan.

"Ngomong disaring, Fan!" ketus Gempa sembari meringis menahan sakit. "Kugerayangi kamu kalau aku mati!"

Untungnya Solar tidak menyaksikan kesewotan yang terjadi antara Taufan dan Gempa yang terluka. Saat ini, Solar telah memasuki bagian lain gua dan sekarang halangan lain telah menanti.

Lantai gua kini dipenuhi dengan pahatan-pahatan huruf abjad. Jarak yang lumayan jauh tidak memungkinkan bagi Solar untuk melompati kesemua pahatan abjad di atas lantai. Satu-satunya cara hanyalah dengan menginjak pahatan abjad itu sampai dia berhasil melintas dengan selamat.

"Petunjuk kedua!" Solar langsung teringat dengan kata-kata Gempa. "Nama Tuhan .... Duh nama yang mana nih?"

Kembali Solar memutar otaknya. Dalam kepercayannya, Tuhan yang ia ketahui memiliki banyak nama dalam Asmaul Husna.

"Aku coba saja ... Ar Rahiim." Solar melangkahkan kakinya ke atas abjad di atas lantai dengan pahatan huruf A.

Alangkah terkejutnya Solar ketika pahatan abjad A yang dia injak langsung amblas. Sebuah lubang menganga kini menggantikan lantai berpahatan abjad.

KeabadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang