14. Lembah Bulan Sabit.

221 38 6
                                    

"Solar, bisa pelan sedikit ngga nyetirnya?"

Entah sudah keberapa kalinya Taufan mengeluh. Bagaimana tidak? Medan yang dilalui mobil yang ia tumpangi dan dikemudikan oleh Solar terasa jauh dari kata nyaman.

Memang Lada Niva berwarna merah yang disewa oleh Solar kala itu adalah kendaraan yang terkenal cukup tangguh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memang Lada Niva berwarna merah yang disewa oleh Solar kala itu adalah kendaraan yang terkenal cukup tangguh. Medan padang pasir berbatu yang menghampar selepas melewati batas kota Alexandretta, atau yang sekarang dikenal dengan nama Iskanderun, dilibas dengan mudahnya.

Walau tangguh, Lada Niva yang disewa oleh Solar itu tidak terasa nyaman. Mobil itu diproduksi sejak jaman Uni Soviet masih berdiri. Mengenal pola pikir komunistik Uni Soviet, jarang sekali mempertimbangkan segi kenyamanan ketika mereka memproduksi kendaraan. Mereka lebih mengutamakan ketangguhan, kemudahan perawatan dan murahnya biaya produksi

"Aku setuju dengan Taufan ...." Gempa yang duduk di bangku depan, di samping Solar ikutan mengeluh. "Kenapa tidak sewa mobil yang lebih empuk?" Bahkan getaran akibat mobil yang meloncat-loncat ketika melewati medan tidak rata membut suara Gempa ikutan meloncat-loncat.

Keluhan-keluhan kedua kakaknya membuat Solar mendengkuskan napas. Dia memutar bola matanya keatas dan melirik ke arah kaca spion tengah mobil dan melirik ke arah Taufan. "Tahan sedikit lah. aku sewa mobil begini biar kita bisa-"

"Mengirit? Ya, tapi habis ini kita masuk rumah sakit," keluh Taufan menggerutu. "Mana di Turki ngga ada tukang urut yang bisa kerokan ...," keluhnya lagi sembari merengut.

Solar memilih untuk tidak meladeni keluhan-keluhan dari kakaknya yang bermanik netra biru itu dan memilih untuk mengalihkan perhatian kepada Gempa. Masih ada beberapa hal yang dipikirkan oleh Solar dan hanya Gempa yang mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

"Kak Gem," panggil Solar tanpa mengalihkan tatapan matanya dari jalan pasir berbatu yang sedang dilalui. "Memang ada apa di tempat Cawan Suci itu?"

"Menurut literasi, cawan itu disimpan di sebuah kuil kuno," jawab Gempa. "Tentunya ada jebakan yang menanti di kuil itu."

"Hmpf .... Selalu ngga pernah mudah ya," dengkus Solar.

"Memang." Gempa mengedikkan bahunya. "Selama kita tahu cara melewati jebakan-jebakan itu, pasti kita bisa berhasil kok. Aku tahu petunjuk untuk melewati jebakan-jebakan itu."

"Ada tiga jebakan yang menanti kita, Solar," lanjut Gempa. "Aku ngga tahu persis seperti apa jebakannya, tapi aku tahu petunjuknya. Petunjuk pertama ... hanya yang bertobat bisa lewat. Petunjuk kedua ... nama Tuhan. Petunjuk ketiga ... hanya yang yakin kepadaNya yang bisa lewat."

Alih-alih yakin, Solar malah semakin ragu. "Uh .... Kak Gempa yakin? Ngga salah ingat? Petunjuknya ngga jelas."

"Hey, kamu tahu ini arkeologi 'kan? Ngga ada yang pasti. Banyak juga tulisan bersejarah yang hilang. Aku harus banyak mengisi kekosongan dari teks bersejarah itu dengan imajinasiku sendiri," jawab Gempa.

KeabadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang