Hawa dingin membungkus malam. Gerimis. Lampu jalanan menerangi genangan air. Ada semacam perasaan sendu berjalan bersisian dengan laki-laki arogan ini. Entah apa yang membuatku berjalan, mengikuti langkahnya.
Sepuluh menit berjalan. Kami tiba di sebuah cafe, dengan gaya artistik, bangku kayu di mana lampu bohlam bergantungan di atasnya. Rangga memilih tempat duduk outdoor, terletak di lantai atas.
Bangku menyisakan basah, bekas siraman hujan. Aku terpaksa duduk bersisian. Desain kursi dibuat pas untuk dua orang, menghadap ke pemandangan langit malam juga pepohonan yang dihiasi lampu bohlam berwarna temaram.
Beberapa menit kami menyelesaikan pesanan. Setelah itu hening. Hanya ada kami berdua di sini. Bangku ini terasa sempit, setengah lebih bagian diisi oleh tubuh tinggi tegap Rangga. Aku duduk di tepian kursi, menjaga jarak.
"Kamu nanti jatuh. Mendingan aku pindah. Aku cuma mau ajak kamu menikmati cappucino di luar kamar," katanya seraya beranjak pindah.
Terserah sahutku dalam hati. Namun, sebelah hati ini berkata sebaliknya. Nyatanya, belum ada satu pun kata terucap. Laki-laki itu, sudah akan berpindah tempat. Refleks, tanganku menangkap lengan bajunya.
Sedetik kemudian, menyadari kebodohan ini, aku melepaskan pegangan. Tersenyum kecut, dan berkata," Aku aja yang pindah."
"Serius?" tanyanya mengodaku.
Seharusnya aku beranjak, tapi sesuatu yang lebih kuat menahan diri ini untuk tetap diam.
"Hera, santai aja. Kita udah pernah lebih dekat dari ini, kan?" godanya.
Aku sudah akan protes, kalau saja pelayan belum keburu datang mengantarkan pesanan kami. Secangkir latte dan satu cangkir kecil Espresso, juga satu porsi roti bakar coklat keju.
"Kupikir kamu pesan Cappucino," ucapnya sesaat setelah pelayan itu pergi.
"Sebetulnya aku lebih suka latte, lebih banyak komposisi susunya, tapi tadi cari yang praktis," jawabku kemudian menghela napas memutuskan bersikap lebih santai.
Pria di sampingku, menikmati minumannya. Sepertinya dia pecinta kopi pekat. Aku hanya suka mencium aroma Espresso yang kuat, tidak dengan rasa pahitnya.
"Kamu mau coba?" tanyanya membuatku tersadar sejak tadi aku hanya terpaku memandang gerak geriknya.
"Aku nggak suka pahit," jawabku sambil mengalihkan perhatian dan mulai menyesap latte di cangkirku.
"Hera, aku punya tugas tambahan buat kamu. Bikinin aku kopi setiap pagi. Aku lagi bosan minum racikan sendiri," ujarnya ringan.
Perkataan ringan darinya terdengar berat untukku. Bukan karena aku takut membuat racikan secangkir Espresso, namun takut membayangkan apa yang bisa tercipta di balik itu semua.
"Kamu lapar, ya? Diam terus. Cobain deh roti bakarnya," ujarnya lagi.
"Nggak aku udah kenyang. Cuma lagi mikir semoga kamu tahan sama rasa kopi yang kubuat nanti. Aku nggak pernah suka Espresso," jawabku.
Rangga tertawa kecil. "Nanti kuajarin," ujarnya sambil menyuap potongan roti.
"Semoga hasilnya enak," jawabku singkat.
Beberapa saat aku menikmati latte, menghirup udara sejuk. Terasa mendamaikan, kalau saja tak terlanjur tahu apa yang ada di masa lalu Rangga.
"Apa pendapatmu tentang Hansel?"
Mendadak aku tersadar, pekerjaan utama. Memikat Nicholas Hansel. Jujur, pria itu memiliki pesona yang kuat, rasanya tak ada alasan ketakutan berada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati untuk Mahera
RomanceKisah tentang seorang perempuan priyayi bayaran. Kisah indigo cantik yang akhirnya terlibat dalam pusaran dendam antara dua keluarga penguasa. Kisah pertemuan takdir ketiga anak manusia. Satu perempuan diantara dua pria. Terseret dalam pusaran de...