Misteri Renata

35 3 0
                                    


Tersadar dalam pelukan hangat seorang laki-laki. Tubuhku kaku. Mengapa posisi semalam bisa berbalik? Kini raga ini berada dalam dekapannya.


"Ssttt ... Diamlah, ini perintah!"


Rangga berkata lirih, embusan napasnya terasa hangat di telingaku. Terasa dekapan pria ini lebih erat, saat aku berusaha bangun, sementara tangan kami masih saling mengenggam. Beberapa detik, aku seakan hanya mendengar detak jantung kami yang saling bersahutan. "Tuan ... anda membuat aku sesak," lirihku berusaha merendam gejolak yang menjalari setiap ruas di tubuh ini.


Aku tak menyiakan kesempatan bangun dan menjauh saat dia melonggarkan dekapannya. Sekujur tubuhku terasa panas.


"Hera, apa yang kamu lihat semalam?" tanyanya ikut beranjak bangun.


Tatapannya menahanku untuk benar bangkit dan meninggalkan sofa. Saat ini, kami duduk berdekatan, aku tak sanggup menolak saat Rangga kembali menggengam tangan ini lembut. Mendadak teringat putaran kisah dalam benakku semalam. Tragedi yang menorehkan luka parah, hati laki-laki di hadapanku.


"Rangga, aku ... Entahlah," jawabku, tanpa sanggup banyak bicara, dada sesak, terasa cairan hangat merembes dari sela mataku.


"Maafkan aku, membuat kamu melihat semua," ujarnya sambil mengusap lembut air mataku. "Ceritakan, baru aku memaafkan kamu," sahutku.


Laki-laki dingin itu tersenyum samar, kemudian melepaskan genggamannya.


"Aku ceritakan sambil sarapan di bawah."


Aku hanya mengangguk patuh, tanpa berkata sepatah pun, lekas beranjak dan menjauh menuju toilet kamar.


Siraman air segar menyentuh kulit wajahku. Berkaca. Semburat warna merah jambu, masih menghiasi rautku saat ini. Pertama kali, bersentuhan bahkan sangat dekat dengan seorang pria, membuatku nyaris lumpuh.


Rasanya kesucianku perlahan terkikis. Perasaan sayang pada pria itu, hadir tanpa permisi, memenuhi rongga hati ini.


Ketukan di pintu, menyadarkan diriku yang masih mematung. Suara Rangga terdengar memanggil. Cepat kurapikan rambut dengan tangan, kemudian bergegas menuju pintu."Hera, kamu nggak papa, kan?" tanyanya cemas sesaat setelah pintu terbuka.


Lagi-lagi aku hanya menggeleng.


"Syukurlah, mungkin membantu aku membuat sarapan bisa mengembalikan tenagamu," jawabnya seraya berjalan menuruni tangga.


Di dapur, kekakuan perlahan menguap. Sejenak aku melupakan, perasaan dan semua masalah yang mungkin akan timbul setelah ini. Memasak adalah salah satu caraku merendam gelisah.Rangga memintaku memilih menu sarapan. Pancake dengan irisan strawberry segar dan maple syrup, menjadi pilihan. Seperti kebanyakan laki-laki, dia tak bisa banyak membantu. Aku memintanya duduk santai, menunggu di ruang makan outdoor dan stop menganggu aktifitas kesukaanku. Sentuhan dan tatapan mata itu, yang sebenarnya menganggu.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang