Jangan Sentuh Kalau Bukan Cinta

30 1 0
                                    

Firasat ini berkata dia akan menciumku. Seharusnya aku menghentikannya. Nyatanya, hati dan tubuhku bereaksi sebaliknya. Sentuhannya lembut ketika membelai wajahku. Perlahan laki-laki ini mengeratkan dekapannya.

"Mahera, aku membutuhkan kamu," bisiknya di telingaku.

Kesadaran menghentakku. Sekuat tenaga aku mendorong Rangga menjauh.

"Jangan sentuh aku kalau bukan karena cinta!" ujarku.

Kemarahan menguasai diri ini. Aku menatap pria di sampingku penuh kebencian. Laki-laki itu menegakkan tubuh, kemudian balas menantang tatapanku.

"Cinta! Jangan sebut kata itu kalau kamu juga nggak yakin! Kata itu cuma sekali terucap untuk Renata, dan dia pergi!"

Pria ini berubah frustasi, sampai meremas kuat rambutnya. Dia mengatakan dengan kesedihan yang begitu nyata sehingga membuat hatiku hancur. Batin ini serasa diremas setiap mengingat dan merasakan perasaan Rangga terhadap Renata.

"Rangga, biarkan aku tinggal di apartemenku sendiri. Aku janji nggak akan lari dari perjanjian. Nggak ada alasan untuk menolak bekerja di tempat Hansel."

Aku hendak beranjak, tetapi Rangga menahannya. Dia menarik tanganku kemudian mengenggamnya. "Mahera, lihatlah aku lebih dalam." Sorot matanya menghangat ketika memintanya. Tak sanggup menolaknya, aku sudah terseret dalam pusaran waktu lampau.

Bayangan samar kembali muncul di benakku. Sedetik kemudian, aku berada di dalam kamar mewah bernuansa coklat tanah. Sosok Renata seakan nyata berdiri di hadapanku. Perempuan cantik berwajah khas oriental dengan rambut lurus sebahu. Gaun hitam panjang, berpotongan dada rendah, membuat kulit putihnya makin bersinar.

Perlahan dia membuka gaun, kemudian melepaskan semua yang melekat di tubuhnya. Perempuan itu tersenyum, berjalan menembus ragaku. Hawa dingin menyapa segenap raga ini, membuatku berputar mengikuti gerakannya.

Rangga! Laki-laki itu, duduk kaku di tepi ranjang besar, menatap nanar perempuan yang menghampirinya. Mata ini begitu lancang menanti kejadian selanjutnya. Aku menahan napas ketika Renata sudah begitu dekat.

Tamparan keras. Pemandangan tak terduga, Rangga memaki Renata entah dengan perkataan apa. Beberapa saat, mereka terlibat perdebatan. Sampai akhirnya, pria itu menutupi tubuh polos perempuan yang kini mulai menangis, dengan selimut tebal.

Rangga memeluk sekilas tubuh Renata, mencium keningnya, kemudian melangkah berlalu dengan ekspresi muram. Dadaku sesak saat sosok itu, melewati raga ini. Kepalaku terasa berat, kemudian semua menjadi gelap.

Aku membuka mata perlahan. Kepala terasa berputar ketika mencoba mengingat apa yang kualami barusan. Pandangan masih terasa samar kemudian hinggap pada seraut wajah cemas di tepi ranjangku.

"Mahera, kamu nggak apa apa kan?"

Bukannya menjawab, aku justru memandangi wajah itu lekat.

"Minum teh hangat dulu, ya. Kubantu bangun," pintanya.

Tanpa menjawab aku bangun sendiri. Pria itu seakan memastikan bahwa aku bisa duduk dengan posisi sempurna. Sedetik setelahnya, dengan sigap dia membawa secangkir teh dari atas meja rias.

"Kamu butuh ini," ucapnya seraya menyodorkan cangkir.

Masih tanpa menjawab, aku mengikuti kata-katanya. Perlahan hangat minuman itu, mengaliri tenggorokan, menemaniku mengumpulkan kesadaran.

Beberapa saat, pria ini dengan sabar duduk menunggu aku yang masih menghabiskan isi cangkir di pangkuanku. Bayangan kejadian tadi begitu menyiksaku, sejak malam itu, aku merasa kemampuanku bertambah.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang