Sosok perempuan ayu bersanggul sederhana, perlahan menghampiri diri yang masih terdiam. Kupejamkan mata, takut ini semua hanya mimpi. Rengkuhan hangat menjadi jawab bahwa semua ini nyata.
Mama. Akhirnya aku bisa merasakan pelukannya, mencium aroma harum tubuhnya. Air mata jatuh berdesakan. Beberapa saat aku terisak dalam dekapannya. Kami saling melepas rindu.
"Anak mama tambah ayu. Jangan nangis lagi, Nduk."
Suara wanita keturunan ningrat yang melahirkanku, terdengar lembut walaupun kesedihan tersirat dari tatapannya. Beliau menuntunku duduk di kursi rotan berdesain tradisional Jawa berpadu sentuhan modern, berwarna monokrom, coklat tua.
"Ma, tempat ini? Nggak apa kita ketemu?" tanyaku sesaat setelah kami duduk.
Beliau tersenyum, dan mengenggam lembut tanganku.
"Rangga yang banyak bantu Mama. Mahera tempat ini, Rangga yang membangunnya. Semoga dia bisa menjaga kamu, sampai kalian menikah nanti. Kita bisa menginap di sini malam sampai tiba hari wisudamu."
Ingatanku serta merta kembali pada perkataan Rangga. Baru tersadar, dia tak ada di sini. Pria itu awalnya membenciku. Mengapa dia membantuku bertemu Mama?
Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Namun, di hadapan Mama aku tersenyum. Sudah besar cobaan Beliau kehilangan Papa, yang masih harus menjalani masa tahanan enam tahun lagi.
Menit berikutnya diisi dengan perbincangan hangat, kami melebur kerinduan melalui cerita. Sampai obrolan kami terhenti sejenak dengan kehadiran Rangga bersama seorang pelayan yang membawa nampan berisi satu cangkir Espresso, satu cangkir Capucino dan secangkir teh hangat beserta satu piring kudapan tradisonal Yogya. Bakpia Pathok.
Suasana kukira akan berubah canggung, justru percakapan akrab yang memenuhi ruangan bernuansa etnik ini. Obrolan kami berpindah ke beberapa topik ringan. Sebagai penutupnya, Mama menitipkan aku kepada Rangga. Entah bagaimana aku menggambarkan perasaan. Sebagian hati bersorak, sebelah lagi diliputi banyak teka teki.
Malam ini perasaan bahagia melingkupi batin. Menghabiskan waktu bersama orang yang paling kusayangi. Diri ini bersyukur masih diberi kesempatan bertemu. Dan semua karena Rangga.
Pagi ini, setelah kemarin melewatkan waktu berharga bersama Mama aku resmi akan bekerja di kantor Hansel. Wisuda yang cukup membuat aku bahagia walau tanpa Papa, namun ada Rangga yang juga menemani.
Rasanya tak ada alasan untuk bersedih. Tuhan mulai mengabulkan satu per satu doaku. Aku hanya tinggal mengerahkan seluruh tekad untuk mempersatukan keluargaku.
Berkaca pada cermin besar, batinku masih mencari mengapa dengan penampilan sopan dan tertutup, diri ini lebi terjaga. Jilbab ungu pekat, kemeja berwarna senada, dipadu blazer bermotif kotak kecil putih ungu. Make up flawless membalut wajah yang terbiasa polos. Aku tersenyum sekali lagi sebelum melangkah keluar.
Menunggu Rangga, aku membuatkan secangkir Espresso juga teh hangat, kemudian menghangatkan makaroni panggang. Aku baru saja selesai menata sarapan di meja, saat mendengar langkah kaki menuruni tangga.
Diri ini masih saja terkesima menatap laki-laki itu. Setelan hitam yang dikenakan, sangat pas di perawakan tinggi besarnya. Sepertinya, dia juga terpesona memandangku.
"Asalamualaikum, sayang," ucapnya tersenyum sesaat setelah duduk di hadapanku.
"Walaikumsalam. Sarapan dulu, ya."
Berusaha mengabaikan tatapan rindu Rangga, aku memindahkan sepotong macaroni panggang ke piringnya. Sekilas dia menyentuh lembut tanganku, kemudian menahan dalam genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati untuk Mahera
RomanceKisah tentang seorang perempuan priyayi bayaran. Kisah indigo cantik yang akhirnya terlibat dalam pusaran dendam antara dua keluarga penguasa. Kisah pertemuan takdir ketiga anak manusia. Satu perempuan diantara dua pria. Terseret dalam pusaran de...