Selamat Menikmati

40 6 0
                                    


Kejadian itu, berawal seminggu sebelum hari ulang tahunku, ke lima belas. Hari itu, ada sesuatu yang tidak seperti biasa. Penglihatan yang sejak kecil, terbentuk samar. Belakangan ini, semakin jelas menyerupai bayangan tumpang tindih di benakku.

Siang yang cerah. Aku diantar mama, menuju sekolah untuk latihan Festival Bregada, tradisi kepiawaian baris berbaris, yang kerap diadakan di Yogyakarta. Sebelumnya, aku berniat makan terlebih dulu dengan tiga sahabat di rumah makan favorit kami.

Bebakaran. Nama restoran dengan menu khas ayam kampung bakar. Tempat duduk di pinggir jendela menghadap jalan, menjadi pilihan menunggu tiga sahabatku. Selesai memesan menu, kualihkan pandangan menyapu jalan.

Bayangan dua kejadian kembali berkelebat, kali ini seakan terjadi tepat di hadapanku. Mendadak terlihat sebuah motor, hendak menyalip mobil. Namun dari arah berlawanan ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghantam motor tersebut.

Pengendara terpental, helm terlempar dan kepalanya membentur trotoar dengan keras. Lalu, laki-laki itu tewas seketika. Di sisi lain, mobil tadi kehilangan kontrol dan menabrak seorang gadis. Orang-orang panik. Sebagian menuju ke pengendara motor, sebagian lagi menuju ke arah sang gadis.

Napasku tersengal, menyadari apa yang baru saja terlintas jelas serupa putaran film. Kepala terasa berat, kupejamkan mata, kemudian membukanya hanya ada suasana jalan yang masih sepi. Kendati demikian, aku tak menampik hawa ketakutan yang menyelimuti batin. Beruntung, pelayan datang mengantarkan es jeruk pesananku. Segera kuminum hingga habis setengah.

Beberapa detik kemudian, dua sahabatku datang. Tuhan! Napasku seakan berhenti saat ini juga. Risma! Ke mana dia? Baru kusadari, dia adalah gadis dalam penglihatanku tadi. Belum sempat membuka mulut untuk bertanya, rentetan kejadian tadi benar terjadi di hadapanku.

Tubuhku limbung, menyaksikan laki-laki yang terkapar tewas di trotoar depan rumah makan kami. Teriakan histeris kedua sahabatku, memanggil nama Risma. Aku menangis karena baru saja melihat masa depan. Dalam tangisanku, tiba-tiba sosok bayangan hitam menghampiri dan berbisik.

"Mahera Dewi. Nikmati takdirmu. Kamu akan bisa melihat masa depan, tapi hanya hal buruk. Selamat menikmati."

Kini, sosok itu kembali. Dia tertawa mengejek, diri yang berusaha melawan takdir. Bergegas, menuju ke toilet, berdiri di bawah pancuran air kemudian menyalakan pancuran, membiarkan seluruh tubuh basah. Hanya bisa berdiri gemetar kaku, di bawah siraman dingin. Berharap sosok itu menghilang.

Tidak! Aku tak akan sanggup lagi melihat tragedi. Risma kehilangan kakinya karena kejadian itu. Seandainya, aku bisa mencegahnya. Beberapa saat, aku merintih dalam tangis.

Bunyi ketukan pintu, terdengar bersamaan dengan suara Rangga.

"Nona, kamu nggak papa?" ujarnya terdengar cemas.

Terdiam, kaki ini seperti terpaku kuat. Mungkin harus mati, untuk menghentikan takdir. Tanganku mulai memutar kran air panas, namun terselamatkan. Rangga dengan cepat menyeret tubuhku, sebelum tersiram dan terbakar.

Entah apa yang terjadi. Aku tersadar dalam kamar yang sama. Perlahan kugerakan badan. Kaku. Jantung seakan berhenti berdegup, menyadari tak ada sehelai benangpun di atas tubuh, yang hanya tertutupi selimut tebal.

Aku sudah akan menangis, sebelum suara Vera terdengar.

"Lu gimana, sih? Gue pikir selesai satu jam. Gue udah curiga lu bakal bikin yang aneh. Makanya, Rangga bayar gue buat nunggu sampe kalian selesai."

Perempuan bertubuh mungil itu, duduk di sampingku membawakan segelas teh hangat. Aku masih berusaha mengumpulkan ingatan kejadian.

"Bengong aja, ini minum. Rangga bilang lu ketakutan, terus pake ancam mau bunuh diri, di bawah air panas. Baju lu udah gw jemur semua. Hera, lu terlalu polos, tapi beruntung lu masih perawan..."

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang