Sosok Hitam

53 9 0
                                    


Sorot bola mata hitam, pria ini lembut, sekaligus menghunus. Ada luka sekaligus kemarahan tersirat di dalamnya. Instingku samar bekerja. Sebersit kesadaran menghentak pikiran. Firasat buruk mendadak hadir. Dilema perasaan. Seketika tertepis. Sial! Aku butuh uang itu.

Aku mengangguk cepat, kemudian mengambil pena dan membubuhkan tanda tangan di atas materai, kemudian menyodorkan ke hadapan pria itu.

Senyum kemenangan jelas tergambar di wajah Rangga. Berbanding terbalik dengan diriku yang kini hanya bisa tersenyum pahit. Dengan cekatan, dia mengembalikan amplop surat ke dalam tas. Ganti mengeluarkan kantung coklat berukuran sedang.

Lima ratus juta? Di dalam kantung seukuran itu? Tentu saja, dia membayarku dengan Dollar. Perjanjian yang makin membuat keberuntunganku bertambah.

Beberapa detik lagi, lebih dari lima ratus juta rupiah menjadi milikku. Namun, tiba-tiba hati berselimut keraguan. Firasat buruk terus mendera batin. Pandanganku nanar menatap kantung yang pria itu letakkan di atas meja.

"Ini bayaranmu. Cash!" ujarnya seraya mengeser bungkusan coklat ke arahku.

"Bagaimana aku tahu kalau ini asli?" tanyaku berusaha mengulur waktu.

"Kamu meremehkan aku. Lagipula kamu punya cukup waktu untuk membuktikannya. Besok pagi kamu akan langsung pindah ke tempat yang kusediakan, aku akan mengantar kamu mengambil semua keperluan di apartemenmu," jawabnya dingin.

Aku menelan ludah pahit. Ternyata ... laki-laki ini arogan, kekakuan sikapnya di awal hanya topeng belaka.

"Bagaimana dengan wisudaku seminggu lagi? Orang tuaku akan datang sehari sebelumnya."

"Silahkan. Nanti kita atur hanya satu hari untuk wisuda. Selebihnya kamu masih terikat kontrak dengan aku," jawabnya tenang.

"Jadi apa pekerjaanku?" tanyaku tak sabar.

Rangga kembali membuka tas, mengeluarkan satu buku file hitam, cukup tebal, meletakkan di atas meja kemudian menyodorkan padaku.

"Open it!" perintahnya lagi.

Menahan napas, perlahan aku membukanya. Terpampang wajah seorang laki-laki tampan berwajah campuran asing. Tubuhku bergidik.

"Handsome! Kamu pasti akan suka," sergahnya sebelum aku sempat bertanya.

"Nona, tugasmu adalah membuat laki-laki itu tergila-gila padamu. Sederhana bukan?"

"Kamu mau menjual aku!" ujarku geram dengan napas turun naik menahan luapan emosi. Lelaki itu, tersenyum sinis.

"Menjual? Kamu sudah melakukannya lebih dulu. Terserah bagaimana caranya yang jelas kamu sudah terikat denganku. Kalaupun akhirnya kegadisanmu hilang, bukankah sekarang kamu sudah siap kehilangan?"

Spontan aku bangkit, dan melempar satu per satu bundel dollar tepat ke wajah pria bajingan itu. "Aku nggak butuh uang ini! Ambil ini semua!" teriakku amarah itu meledak juga.

Pria itu beranjak, dengan gerakan cepat dia mendorong tubuhku dan menguncinya di atas sofa, sehingga wajah kami berdekatan. "Nona, kalau aku mau sekarang juga bisa kurampas kesucianmu! Jangan buat aku marah. Cukup turuti perintahku maka aku nggak akan menyentuh kamu. Paham!"

Tubuhku bergetar hebat. Seumur hidup baru kali ini, berada sedekat ini dengan seorang pria. Walau tak bersentuhan, cukup membuat raga ini kehilangan daya. Seharusnya aku mengikuti insting yang menjerit-jerit sejak malam nahas itu.

"Jangan pikir kamu bisa lari. Aku sudah memasang 'hidden camera' di kamar ini. Jadilah penurut, maka kamu akan selamat. Atau kamu mau aku menyentuhmu, sekarang?" ujarnya menatapku tajam.

Udara mendadak menguap, aku kehilangan kata dan daya, dengan sisa kesadaran kuanggukan kepala lemah. Perlahan dia menjauh.

Beberapa saat, aku serupa hilang akal. Tubuh gemetar, membayangkan kesucian yang terampas. Ternyata ... aku tak siap untuk itu.

"Minum."

Entah bagaimana, Rangga sudah menyodorkan segelas air mineral. Aku menatapnya ragu. Siapa pria ini? Mengapa dia seakan memiliki banyak topeng? Bayangan samar mulai muncul di benakku. Membuatku tersadar penuh dan lekas menyingkirkannya.

"Maafkan, aku. Percayalah kamu aman sama aku. Tadi hanya pelajaran awal supaya kamu nggak banyak melawan. Minumlah. Kita lanjutkan pembicaraan santai, sambil makan malam."

Pria di hadapanku berubah lembut. Masih dengan tangan gemetar, aku meminum hingga tandas air yang diberikannya. Sementara, dia membereskan semua, termasuk merapikan 'hidden camera,' yang disinggungnya barusan.

"Ini uangmu. Mulai saat ini, aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik," katanya setelah duduk kembali di hadapanku.

Aku masih terdiam. Ingin rasanya memutar waktu.

"Nona Mahera Dewi. Aku tahu siapa sebenarnya dirimu. Bukan mahasiswi perantauan biasa. Kamu yang sekarang adalah bukan dirimu yang sebenarnya. Kamu adalah salah satu orang yang memiliki bakat khusus itu. Kamu hanya perlu yakin akan kemampuanmu, maka lima bulan ke depan, kamu bisa bebas, dan menyelesaikan pekerjaan dengan baik."

Perkataan pria asing ini, membuatku tersentak. Seberapa jauh dia mengenal diri ini? Aku bahkan ingin berlari meninggalkan semua. Tapi pria ini memaksaku kembali masuk ke dalam lingkaran itu.

"Kamu ... Siapa kamu? Kamu dalang dari kebakaran rumah itu?"

Spontan perkataan itu keluar begitu saja dari mulutku, bersamaan dengan penglihatan samar yang kian menjadi jelas di benakku.

Pria itu malah tersenyum lebar. "Kamu mulai kembali menjadi dirimu sendiri."

Buliran bening, mengalir tanpa bisa kutahan. Rangga mengambil sekotak tissue dan segelas air lagi, meletakkan di meja tepat di hadapanku.

Pria itu duduk di sampingku, dan mengusap air mataku lembut.

"Maafkan aku. Hanya kamu yang kupercaya saat ini. Aku mohon bantuanmu," pintanya.

Beberapa saat, akhirnya aku berhasil menenangkan diri.

"Baiklah. Aku akan mencoba bekerja sama denganmu," ucapku.

Pertama aku harus membuatnya percaya sepenuhnya kepadaku, kemudian setelahnya aku akan mencari celah untuk lari dari semua ini. Saat ini percuma untuk melawan.

Rangga tersenyum. "Terima kasih. Kamu tunggu sebentar, ya. Setelah itu kita makan malam," ucapnya.

"Oke," jawabku sewajar mungkin.

Pria misterius itu, beranjak ke toilet. Dengan cepat, aku mengambil tas yang kuletakkan di dalam lemari. Mencari ponselku, kemudian mengetikkan namanya di pencarian. Belum sempat, aku membaca hasilnya. Pria itu keburu keluar dari toilet.

Kali ini aku dibuat terpana. Wajah dan rambut itu basah, dengan lengan kemeja tergulung sampai ke siku. Dia melangkah ke sudut kamar, mengambil sajadah dari lemari, kemudian mengambil posisi salat.

Siapa dia? Instingku mengatakan ada sesuatu yang akan mengikat kami berdua. Entah apa dan bagaimana? Namun, yang pasti baru kali ini hati ini bergetar karena seorang pria.

Aku tak bisa berpikir jernih demi melihat sosok di hadapanku. Seumur hidup, pertama kali aku melihat seseorang beribadah. Melakukan salat, ada yang bergetar dalam batinku, melihat setiap gerakannya.

Saat ini yang kutahu, diri ini begitu terpesona. Lalu bertanya dalam hati, inikah orang Islam yang sebenarnya? Ketika batinku sibuk menerka, bayangan hitam mulai muncul mendesis di telingaku.

Dia tampan bukan? Bersiaplah menghadapi banyak tragedi bersamanya, kecuali kamu menyerahkan seluruh diri dan perasaanmu.

Bersambung

Next part, Insya Allah, akan bercerita tentang siapa Mahera Dewi, pekerjaan apa yang harus dikerjakannya. Bakat khusus apa yang dimilikinya

Terima kasih kepada pembaca semua. Mohon tinggalkan jejak like, komentar seru selain next biar semangat dan cepat dilanjut.

Jazakumullahu khairan

Love you all because Allah

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang