Cemburu, Kasmaran, Rindu

32 1 0
                                    

Susah payah aku mengerahkan tenaga dari setengah kesadaran yang tersisa untuk mendorong Rangga menjauh. Tubuh ini sudah rebah dalam dekapannya.

"Rangga ... Rangga ... berhenti."

Mata pria itu masih bercahaya dan butuh waktu beberapa saat untuk menjernihkan pikiran hingga akhirnya menyadari bahwa aku memintanya berhenti. Detik berikutnya, dia tersentak. Spontan beranjak menjauh kemudian menghempaskan diri di sofa terpisah.

Perlahan aku bangkit kemudian duduk bersandar. Sekujur tubuhku panas karena malu dan marah terhadap diri sendiri. Sementara Rangga, mengusap wajah berkali-kali. Astagfirulahaladzim ... berulang kali kata itu terucap darinya.

Beberapa saat keheningan menyelimuti kami berdua. Aku kehilangan seluruh daya, alam pikiran membawa diri ini segera kembali ke kamar, menguncinya dan bersembunyi di balik selimut tebal hingga pagi. Nyatanya, hanya sanggup duduk kaku menatap nanar pada permadani hitam di bawah kakiku.

"Sayang ..."

Terdengar lirih suara Rangga memanggil, namun aku masih enggan mengalihkan pandangan.

"Sayang ... Maafin aku."

Kali ini pria ini sudah berlutut di hadapanku, mengenggam jemariku yang kaku, dingin dan masih gemetar. Perlahan kudongakkan wajah menatap sorot mata legam itu. Air mata jatuh tanpa bisa kucegah, membuatnya mengacak rambut frustasi.

"Mahera, aku janji ini nggak akan terulang lagi," pintanya.

"Nggak ini bukan salah kamu," isakku.

Tangan laki-laki itu sudah terulur untuk menghapus lelehan air mataku, namun kutepis halus. Tatapan bersalahnya begitu kentara.

"Rangga, aku mau tidur," ucapku perlahan melepaskan tanganku dari genggamannya.

Aku melangkah masuk ke kamar, tanpa menghiraukan apa yang laki-laki itu lakukan sekarang. Saat ini aku hanya butuh menjernihkan pikiran.

Cahaya fajar lembut menerobos masuk melalui celah tirai yang tersingkap. Rasanya mata ini baru saja terpejam. Ketukan di pintu, membuatku terduduk dan sadar sepenuhnya. Seharusnya aku sudah siap menuju kantor.

"Sayang." Terdengar suara Rangga, di sela ketukan.

Kejadian malam tadi membuat perasaan aman saat bersamanya berubah menjadi rasa was-was. Aku marah pada diri sendiri yang lemah dan tak sanggup mengendalikan diri. Rangga tidak sepenuhnya salah.

"Mahera!" panggilnya cemas seiring dengan ketukan yang bertambah keras.

Akhirnya aku mengerakkan kaki menuju ke pintu, membuka selebar tubuhku, menutupi celah seakan Rangga bisa menerobos masuk dan melanjutkan adegan semalam. Dan jika itu terjadi, rasanya aku tak sanggup bertahan.

"Sayang, kamu baik-baik aja?" tanyanya cemas.

Dia tampak sudah rapi dengan kemeja biru dan celana berwarna senada. Syukurlah, pikiran burukku tak terwujud.

"Nggak papa. Aku terlambat bangun, kamu mau duluan ke kantor? Aku bisa minta ijin Hansel untuk datang agak terlambat," jawabku.

"Aku tunggu aja," ucapnya.

"Oke," sahutku langsung menutup pintu.

Bunyi pesan masuk berbunyi, tepat saat selesai bersiap. Dari Nic Hansel, dia memberiku waktu hari ini untuk mempersiapkan keperluan selama di pulau. Jadi aku tak perlu masuk kantor. Dia mengirimkan run down acara selama seminggu, jadi aku mengetahui apa saja yang kubutuhkan di sana.

Sejenak aku berpikir, menyusun apa saja yang diperlukan, memasukkannya dalam ruang memoriku. Jelas pakaian kerja formal, tidak dibutuhkan. Aku membutuhkan busana lebih santai, juga dua gaun pesta formal untuk jamuan makan malam.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang