Nicholas Hansel

40 4 1
                                    

Mata lelaki ini, menyusuri tubuhku dengan pandangan melecehkan. Dia mencondongkan tubuh sampai kepala kami nyaris bersentuhan.

"Aku beritahu kalau aku membayar perempuan untuk mengoda seorang laki-laki jantan. Perempuan yang bisa membuat targetnya terpesona. Bukan dengan penampilan sopan, berjilbab rapi. Lagi pula pakaian ini sama sekali nggak cocok melekat di tubuhmu," ujarnya sinis.

Sekujur tubuh ini memanas. Kemarahan terasa hingga ke ujung rambutku. Beraninya dia! Kudorong kasar tubuhnya menjauh, tak peduli dengan tatapan garang juga kemungkinan dia berbuat lebih.

Sedetik kemudian, pria itu sudah duduk di hadapanku.

"Cepat tata rambutmu! Kita masih punya waktu sepuluh menit lagi!" perintahnya.

"Tuan Rangga yang terhormat! Tidak ada dalam perjanjian soal bagaimana saya harus berpenampilan. Anda mau laki-laki itu terjerat dan terpesona. Maka ini adalah cara saya! Atau jangan-jangan malahan anda yang lebih dulu terpukau!" ujarku menatapnya marah.

"Jaga ucapan kamu!" bentaknya dengan tatapan berkilat.

"Sikap saya tergantung sikap anda, Tuan," sinisku.

Ekspresi Rangga semakin tak menentu. Akhirnya, aku sedikit bisa menyentuh egonya.

"Dan anda mau aku memanggil Tuan. Hubungan sepupu macam apa? Hai, Tuan muda Rangga! Kupastikan misi kita gagal sejak awal. Jadi ... tidak semua caramu itu cerdas! Anda kurang pandai mengatur strategi. Terserah anda, ini cara saya," ujarku seraya menegakkan tubuh dan balas memandangnya angkuh.

Beberapa detik, kami berperang lewat tatapan. Pria itu, akhirnya menghela napas berat, melihat jam di tangannya.

"Terserah kamu! Aku sudah mengikuti caramu, maka tidak ada ampun jika hasilnya buruk! Sekarang kita berangkat!" perintahnya segera bergegas menuju lift.

Hatiku bersorak penuh kemenangan, langkah ini terasa lebih ringan.

Di dalam lift, aku baru menyadari serasinya penampilan kami. Jilbab, blazer berwarna tanah, dipadu dengan blouse dan celana kain hitam, tampak anggun membalut raga ini. Make up natural, mempertajam rona cantik di wajahku.

Sementara Rangga. Kemeja coklat tanah, serasi berpadu dengan jas, dan dasi warna senada, sangat pas dengan tubuh tinggi tegapnya. Lelaki tampan di sampingku, masih bertahan dengan sikap arogannya. Mungkin lebih baik, karena bisa jadi aku bisa terjerat pesonanya.

Sekitar satu jam melintasi lalu lintas ibukota, kami tiba di sebuah hotel internasional sekaligus gedung perkantoran elite dan megah. Turun di lobby utama, Rangga disambut oleh para staff di gedung itu. Mereka juga ikut memberi salam hormat padaku.

Pria ini tampak berbeda dibanding saat bersamaku. Dia jauh lebih ramah, menyapa setiap orang yang mengenalnya. Kantor Rangga dan Hansel berada di satu gedung, berbeda lantai. Begitu dia menjelaskan padaku.

Kami diantar oleh seorang staf laki-laki ke lift khusus bertanda 'CEO Suite'. Sekilas kulihat dia mengucapkan terima kasih pada pegawai itu. Sedetik kemudian, kami sudah berdua di dalamnya. Aku melihat jam di tangan, jam 8.30. Pantas perutku mulai lapar.

"Kita breakfast dulu. Hansel mengubah jadwal bertemu jadi jam sepuluh," ujarnya tepat seperti yang baru kupikirkan.

Aku tersenyum, mengangguk antusias. Menganggap dia sedikit memperhatikan aku.

"Jangan mikir macam-macam. Kamu harus banyak makan biar nggak gagal fokus nanti!" ujarnya sinis.

Lift terbuka. Suasana mewah, megah dan elegan menyambutku. Ruangan kerja besar bernuansa hitam putih dengan 'metting room' berlapis kaca, tiga pasang sofa, terpampang di hadapanku.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang