Membuat Kenangan

35 2 0
                                    

Firasat mengatakan pria ini sangat mengenal siapa kekasihku.

"Bukannya nggak mau, tapi saya nggak enak sama staf lain. Rangga seperti yang Mr. Hansel duga, dia nggak sabar menungguku. Dia memang cuma sekadar mengantarkan aku. Ternyata ..."

Aku sengaja mengantung kalimat, menghimpun perhatian lebih banyak darinya. Aku ingin mengetahui seberapa jauh pria ini mengenal Rangga.

"Bukan masalah kamu sekretaris pribadiku, aku bebas mengajakmu ke manapun. Kita makan bertiga aja gimana? Lagi pula, Rangga kaku banget sama perempuan. Nanti sekalian kutunjukkan beberapa area di gedung ini."

Batin ini meragu, aku masih menyimpan tanya pada sosok lelaki tampan yang sudah berjalan menuju lift. Nicholas Hansel, bukan pria yang mudah terpedaya. Rasanya aku mulai menikmati teka teki ini.

Rencana makan siang dengan Rangga buyar. Tadinya aku akan keluar melalui pintu kantor layaknya orang bekerja normal lainnya. Namun, saat ini aku berada di lift khusus CEO yang langsung terhubung ke ruang kerja Hansel. Tanpa sadar aku mengembuskan napas berat.

"Mahera, kenapa?"

"Tadinya saya ingin mencari teman makan, kalau anda dan Rangga nggak ada. Mungkin bisa besok," jawabku apa adanya, tak ingin menjadi orang asing di kantor sendiri.

"Bukannya, kamu mau makan sama Rangga?"

"Saya nggak mau setiap hari merepotkan dia. Setidaknya saya bisa menyapa beberapa teman," ucapku. Berharap dengan jawaban barusan kecurigaannya akan hubunganku dengan Rangga lenyap.

Detik berikutnya, lift terbuka. Hansel keluar lebih dulu. Terdengar bunyi pesan masuk dari ponsel pria itu, sejenak dia berhenti, mungkin sedang membalasnya. Aku masih tertib menunggu agak jauh di belakangnya.

"Mahera," panggilnya, aku pun melangkah mendekat.

"Rangga nggak bisa gabung, barusan dia kirim pesan. Kita makan berdua, aku tunjukkan tempatnya, kamu yang pilih. Anggap ini sambutan pertamaku buatmu," ucapnya.

"Terima kasih Mr. Hansel," jawabku.

Kecewa hadir tanpa permisi, namun segera kutepis. Semoga ekspresiku baik saja. Dada bergemuruh, menerka arti dari keputusan Rangga.

Kami sampai di persimpangan. Hansel menghentikan langkahnya.

"Mahera sebelah kiri, berisi deretan restaurant fast food seperti yang kebanyakan ada di mall, sepertinya cocok kalau besok kamu mau makan sama teman kantor. Kali ini kita ke kanan," ujarnya sambil melanjutkan langkah dan aku kembali mengikutinya.

Lorong ini berisi deretan restaurant mewah khas hotel bintang lima.

"Mahera, pilihlah. Di sini baru ada tiga restaurant yang bersertifikat halal. Yang pertama ada di sebelah kananmu. Asia, khas dengan menu dari berbagai negara di benua kita. Kita lihat dua yang lain dulu," ujarnya.

Dalam hati aku terkesan, pria ini sangat menghargai seorang muslim. Aku sendiripun tak terlalu memperhatikan detail. Bagiku yang penting tidak mengandung bahan makanan yang haram.

Setelah berjalan kurang lebih dua puluh langkah. Pria ini kembali menghentikan langkah, mengajakku menepi, kemudian mulai berbicara.

"Ini yang kedua dan ketiga, mereka berseberangan. Kiri restaurant khas Turki, sementara kanan ala India. Mana yang kamu pilih?"

"Bagaimana kalau tempat pertama?"

Seorang pelayan menyambut kami dengan ramah. Hansel memilih tempat di salah satu sudut ruangan. Suasana fresh, elegan dan megah sangat terasa dengan interior langit-langit yang dibuat tinggi. Sesuai namanya Asia, menunya terdiri dari makanan khas berbagai negara di benua itu.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang