Sayang

26 1 0
                                    


Hari ini sepertinya akan menyenangkan. Diawali dengan pagi yang hangat, sama dengan tatapan Rangga mengikuti gerak gerikku. Seperti janji kemarin, aku membuatkannya secangkir espresso.

Tanpa bicara aku meletakkan cangkir di hadapannya, sekuat mungkin menahan diri memacu kedekatan yang mungkin akan kembali. Sebelum sempat menjauh, Rangga mengulurkan tangan dan berusaha meraih tubuhku.

"Aku belum mandi," ucapku seraya menghindar menjauh dari dirinya.

Dia tersenyum. "Aku tahu, sayang. Dan aku juga tahu kamu selalu membersihkan diri sebelum dan sesudah tidur. Aku tahu bagaimana kamu. Semoga saja garis jodoh itu masih berpihak pada kita."

"Rangga, ini kesalahan. Nggak seharusnya kita begini. Please ...," tegasku.

Tak membuang kesempatan, aku segera beranjak menjauh. Menuju lemari es, mengambil satu kotak orange juice. Dengan cepat aku menuju meja panjang, tempat gelas tersusun rapi, menuang isinya hingga setengah gelas terisi. Melihat itu, Rangga bergegas menghampiriku.

Laki-laki itu pasti ingin mencuri kesempatan. Batinku berkata harus segera ke kamar, bersiap, mandi dan kembali ke apartemen. Cepat aku menenguk isi gelas. Sedetik kemudian rasa asam luar biasa menjalari indera perasaku, membuatku tersedak.

"Ini minum air hangat dulu, ya," ujar Rangga yang kini sudah berada tepat di sampingku. Tak punya banyak pilihan, kuraih dan meminum air yang disodorkannya. Hangatnya membasuh rongga mulutku, perlahan rasa asam itu hilang.

"Makasih, ya," ucapku tulus.

"Jangan gitu lagi, ya. Kalau bukan orange juice dari jeruk murni, nggak boleh diminum pagi," jawabnya.

Aku mengangguk cepat, sebelum aku membuka suara Rangga sudah berkata lagi.

"Ya udah, kamu siap-siap ya. Kamu mau liburan singkat sama aku nggak hari ini?"

"Asal kamu janji nggak sentuh, peluk aku seenaknya," rajukku.

Pria tampan ini, tertawa kecil. "Aku nggak bisa janji kalau itu. Tapi aku bisa janji akan jaga kamu. Maaf ... sayang," jawabnya seraya menunduk dan mendaratkan sekilas ciuman di pipiku.

"Rangga!"pekikku. Tindakan kilat, namun tubuhku bereaksi lambat meredakan efeknya.

Dia tertawa jahil, berkata santai,"Aku janji nggak akan cium kamu kelamaan. Kita siap-siap, ya. Banyak yang mau aku bahas tentang kita. Sarapan sambil jalan, nggak apa kan?"

"Oke, aku akan ingat janji kamu barusan," jawabku dan bergegas menaiki tangga menuju ke kamar.

Di dalam kamar. Aku bersyukur memiliki waktu sendirian. Ada kesempatan menganalisis hati dan pikiran yang kacau balau. Berbahaya bagiku dan Rangga, jika terus berdekatan.

Berulang kali aku menyakinkan diri sendiri bahwa semua sentuhan itu tak akan berakibat apapun. Tapi, aku tahu itu bukan sekedar sentuhan. Saat ini dengan mudah aku berjanji tak akan mau jatuh ke dalam sentuhan, dekapan apalagi ciuman pria itu. Namun, bagaimana saat kami kembali berdekatan?

Perasaan resah masih betah bergelayut. Andai alarm pukul tujuh dari ponselku tak berbunyi, diri ini masih duduk diam di tepi ranjang. Tak mau lebih banyak waktu terbuang, aku melangkah ke bath room.

Di bawah pancuran air. Aku bertekad ini hanya masalah disiplin diri. Dan Mahera Dewi selalu bangga karena unggul dalam hal itu. Yang perlu kulakukan sekarang hanya tegas pada diri sendiri.

Rangga mengajakku mampir ke salah satu bakery favoritku. Croissant sandwich with smoked beef and cheese, juga iced coffee latte adalah menu andalanku. Kali ini pria ini, juga memesan menu makan yang sama, ditambah satu botol air mineral.

Empat puluh menit kemudian kami sudah ada di dalam Mercedes hitam.

"Kamu suka sarapannya?" tanyanya sebelum melaju.

"Suka banget," jawabku senang.

"Semoga kamu masih suka sama perjalanan kita selanjutnya," ucapnya tersenyum.

Mercedes Hitam meluncur tenang membelah jalanan kota menuju pegunungan. Suasana lenggang, karena bukan hari untuk berlibur. Lantunan lagu Bryan Adams 'Best Of Me' membuatku spontan tersenyum. Rasanya pria ini tahu semua hal yang kusuka.

Rangga tersenyum," Sayang ... Kamu suka nggak?"

Aku menggangguk antusias. Dia mulai mengenggam tanganku, menarik tubuh ini perlahan agar bersandar di dadanya yang kokoh. Semua janji pada diri sendiri yang tadi sempat jelas terikrar. Runtuh. Rangga memelukku hangat. Merdu melodi jantung pria itu terdengar. Sesekali dia mencium lembut, pucuk kepala dan tanganku.

Dua jam berikutnya, panorama indah dan udara sejuk khas pegunungan mulai menyambut kami. Rangga mematikan AC, membuka kaca membiarkan semilir angin masuk. Aku memejamkan mata meresapi kesejukkan yang begitu mendamaikan.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah resort dan restaurant yang unik. Rangga mulai memarkirkan mobil, kemudian membukakan pintu dan membantuku turun. Aku tertegun memandangi pemandangan di hadapanku.

Sebuah bangunan khas etnic Jawa. Rumah joglo megah di tengah hamparan pegunungan dan deretan sawah berundak yang hijau. Aku menahan napas. Ini mengingatkan akan sebuah tempat di mana mungkin selamanya aku tak bisa kembali.

Rangga meraih tanganku yang terasa sedingin es. Senyum dan tatapannya menyakinkan bahwa saat ini aku tak lagi sendirian. Suguhan dekorasi di dalamnya, membuatku mengeratkan genggaman. Laki-laki ini seakan tahu kegundahanku.

"Mahera, sayang. Aku janji semua akan baik saja," tegasnya.

"Semoga ...," jawabku pendek.

Pelayan mengantarkan kami ke sebuah gazebo mungil di atas kolam renang, setelah melewati jalanan yang menurun ke bawah. Aku berdecak kagum melupakan nuansa mencekam yang baru saja kulalui di dalam.

Kami memesan dua porsi sop buntut, rekomendasi dari sang pelayan. Selama beberapa saat, aku mengedarkan pandangan ke pemandangan yang mengelilingi kami.

"Mahera, aku salat dulu, ya. Kamu sekalian aja gimana?" tanyanya membuatku tersentak.

"Hmm ... kamu duluan aja," jawabku tersenyum kaku.

Laki-laki ini hanya tersenyum penuh arti, "Tunggu sebentar lagi, aku akan jadi imammu."

Terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa.

"Sayang ...? Kamu nggak apa?" tanyanya lagi.

"Iya, aku tunggu di sini. Jangan kelamaan, ya," jawabku.

Sebuah kecupan singkat di keningku, kemudian pria itu melangkah keluar.

Aku menatapnya lekat, menerka maksud ucapannya. Mengapa bagi keluarganya hidup dengan berbagai aturan agama, seperti syarat untuk menjadi bahagia? Sejak awal, aku tahu bahwa sebenarnya perjodohan kami tak akan berhasil.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang