Pengakuan

26 1 0
                                    

Hari ini, petualangan akan dimulai.

Refleks tanganku menuliskan kalimat itu pada buku diary violet bersampul beludru. Entah apa yang akan terjadi. Aku tak ingin percaya bahwa sejak bertemu Rangga, alam bawah sadar ini, seolah meronta melihat rangkaian pertanda dari setiap kejadian buruk.

Berada di dalam private sea plane, bersama pria yang baru kukenal. Nic Hansel. Tercipta zona nyaman saat berada di dekatnya, dan ini berbahaya. Perasaan ini hanya boleh ada untuk Rangga.

"Mahera, kuharap kau tidak mabuk selama perjalanan. Ini akan memakan waktu sekitar tujuh puluh menit," ujarnya sambil tersenyum hangat.

Aku menggeleng cepat, kemudian menjawab sambil membuang pandangan. Posisi duduk kami yang bersebelahan membuatku susah payah bersikap biasa.

"Nggak apa, aku suka menikmati perjalanan," jawabku.

"Good. Kamu bisa menikmati pemandangan alam yang masih murni."

Benar saja. Aku dibuat takjub dengan pemandangan pulau-pulau kecil nan elok di sekitar perairan Natuna. Sungguh bagai surga dunia dengan keindahan tiada tara. Tujuh puluh menit terasa singkat.

Hansel mengulurkan tangan membantuku, turun dari atas sea plane. Aku menahan napas, semoga saja tak ada sesuatu yang terjadi setelahnya.

"Mahera, maaf aku cuma mau bantu, atau kamu lebih memilih turun di atas punggungku?" candanya sambil berlagak seperti akan mengendong dari belakang.

Tergagap aku menjawab, "Maaf," kataku menyambut uluran tangannya.

Lintasan kejadian mendadak hadir memenuhi benakku. Suatu tempat di pulau ini, dalam suatu ruangan dengan banyak pria berwajah dingin dan culas. Seketika tubuhku gemetar.

"Mahera, kamu baik saja?"

Bahu ini ditepuk lembut, kesadaranku kembali. Tangan kami masih saling berpegangan. Cepat-cepat kulepaskan. Kami berjalan menyusuri pasir putih. Semilir angin beraroma khas lautan menyapa wajahku. Seharusnya menyenangkan, namun bayangan tadi membuat dada ini sesak.

"Hansel, berapa orang yang ada di pulau ini?"

"Lima belas orang termasuk aku dan kamu. Dua hari acara dimulai. Jadwalnya akan segera kuberikan," sahutnya tenang.

Kami sampai di sebuah resort yang sedikit jauh dari deretan resort lain di pulau ini. Cottage ini hanya ada tiga dengan jarak tak terlalu lebar satu sama lain. Paling eksklusif.

"Mahera, kamar kamu di tengah."

Sedikit terkejut, dia masih memperlakukan aku secara istimewa. Langkahku terpaku sewaktu ingin memasuki pondok kayu indah nan mewah.

"Hansel, ini sepertinya berlebihan, aku nggak enak sama staff lain nanti," jawabku.

Laki-laki itu tersenyum. "Kamu memang bukan staff biasa. Mahera, ini salah satu cara aku melindungi kamu."

"Apa maksud kamu?" desakku dada begemuruh, sudah kuduga akan terjadi sesuatu.

"Mahera Dewi, aku tahu siapa kamu. Kamu sebentar lagi akan tahu kita berdua punya misi yang sama. Waktu di sini lebih cepat satu setengah jam dari waktu Indonesia Barat. Sebaiknya kamu sesuaikan waktu di arlojimu," jelasnya.

"Kamu akan mengundang segerombolan penjahat ke sini!" ucapku mengeluarkan pertanyaan yang menyesak.

Dengan tenang pria, itu kembali berkata,"Kamu bisa melihatnya kan, Mahera? Aku sengaja memancing mereka kesini. Di sini aku sengaja membatasi akses internet. Mohon maaf kamu sementara nggak bisa komunikasi sama kekasihmu."

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang