Rangga Malik Ghazzal

38 4 0
                                    

Setelah makan pagi, membawa semua keperluan dari apartemenku, Rangga membawaku ke sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elite. Tak ada percakapan di sepanjang perjalanan kami. Laksana robot, aku hanya menjawab pertanyaan yang diajukan.

Mercedes hitam yang membawa kami, sudah terparkir di ruang basement. Aku mengikuti langkah pria itu menuju lift. Tak ada tanda kehadiran orang lain selain kami berdua di sini. Smart home. Konsep pengaturan tempat tinggal, yang kini terpampang nyata di hadapanku. Semua diatur dengan mesin pintar.

Bulu kudukku meremang, sesaat memasuki lift. Menarik napas aku berupaya fokus demi mencari tanda kejadian buruk yang mungkin saja menimpa diri ini di dalam sana. Nihil. Hanya degupan jantung, yang semakin jelas terdengar iramanya. Sedangkan laki-laki itu, masih tanpa ekspresi membawa dua tas besarku dengan tangan kokohnya.

Pintu lift akhirnya terbuka. Ruangan elegan bernuansa hitam putih, menyambutku. Sebuah sofa panjang, juga dua single sofa berjajar di samping, susunan bantal hitam putih sangat rapi tersusun di atasnya dilengkapi dengan meja jati kecil berbentuk minimalis dengan warna senada di hadapan mereka. Hamparan permadani putih menjadi alas. Lampu kristal putih tergantung indah, menaungi kemewahan di bawahnya.

Sebuah home theater lengkap, dengan layar besar tampak di depan barisan sofa itu. Kaca besar terpampang tepat di depan tempat kami berdiri saat ini. Tanpa berkata sepatah pun, Rangga berjalan ke sebuah ruangan di belakang sofa itu. Ada dua pintu, satu di sudut kiri, lainnya di sudut kanan.

Rangga membawaku ke sudut kanan. Di depan pintu, dia menghentikan langkahnya.

"Hera, ini kunci kamar. Selama terikat kontrak, kamu tidur di dalam sana. Jangan coba kabur, karena percuma. Kita cuma berdua di rumah ini. Kamarku tepat di sebelah. Kamu boleh istirahat sampai jam satu siang, susul aku ke ruangan bawah. Kita makan siang, setelah itu bahas apa tugas kamu lusa besok," ujarnya memberi perintah seraya menyerahkan kunci.

"Aku pikir semua sudah tersetting otomatis. Ternyata kamu masih suka model konservatif pakai kunci kamar. Ternyata...," sinisku dengan nada mengejek.

Perkataanku membangkitkan emosinya. Rangga mengurung tubuhku yang sudah menempel di pintu kamar, dengan kedua tanganya. Pria ini, mendekatkan wajahnya, sehingga hidung kami hampir menempel.

"Aku nggak suka kamu bantah, melawan atau protes sama apa yang bakal aku lakuin. Kamu mau pakai metode otomatis, berarti aku bebas keluar masuk kamar kamu. Aku bisa menyentuh kamu sekarang juga atau kapanpun aku mau. Paham!"

Desah napas kasar lelaki ini, terasa panas menyapu wajahku. Dadanya naik turun menahan emosi. Aku menggigit bibir, berdoa semoga dia tidak merampas kehormatanku.

"Jawab Hera!" bentak Rangga bersamaan dengan kilatan marah pada kedua bola mata legamnya.

"Stop! Jangan perlakukan aku seperti perempuan bodoh dan rendahan, kamu butuh aku! Atau aku bisa berbuat nekad. Satu hal yang harus kamu pahami Tuan Rangga. Aku nggak takut mati! Jangan sampai aku memilih lebih baik mati daripada harus terlibat urusan kamu!" seruku geram.

Dadaku naik turun menahan emosi, menolak diperlakukan layaknya boneka tak berhati. Pria ini bersembunyi di balik kelemahannya. Dan aku akan membalik keadaan.

Laki-laki itu mendengkus, kemudian melepaskan kurungannya.

"Ingat waktumu sampai jam satu. Aku nggak suka terlambat!" perintahnya lagi sebelum membiarkan aku masuk ke dalam kamar.

Kamar dengan nuansa sama, hitam putih, tak kalah mewah dari ruangan di depan. Fasilitas mini home theater juga ada di sini. Aku hanya punya waktu kurang dari satu jam untuk membereskan semua.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang