Kejutan

29 1 0
                                    

Rangga Malik Ghazzal Sajwani dan Mahera Saptarea Dewi Djojodiningrat. Sejak kecil kami sudah dijodohkan. Perjodohan yang bertentangan dengan tradisi trah turun temurun. Orang tuaku berusaha menjauhkan aku dari lingkaran itu.

Aku berasal dari trah priyayi sedangkan Rangga adalah anak seorang pengusaha dari yang mewarisi darah Timur Tengah. Keluarganya melebarkan sayap bisnis hingga memiliki pondok pesantren terkenal seantero Jawa, selama satu dekade ini.

Enam tahun, aku berusaha menyakinkan diri sendiri bahwa diri ini hanya seorang perempuan biasa tanpa gelar. Hanya Mahera Dewi, anak dari keluarga biasa, mahasiswi perantauan yang hidup di kota metropolitan.

Moyangku adalah satu di antara orang Indonesia terpilih yang mendapatkan pelatihan pendidikan intelijen di Belanda sampai Amerika. Dari masa sebelum kemerdekaan, sampai sekarang keluarga kami sudah berkecimpung di dunia intelijen dan keamanan.

Indigo. Julukan mereka padaku. Kemampuan yang dinilai menunjang tugas seorang intel, membuat orang tuaku akhirnya terpaksa menyembunyikan anaknya sendiri. Trik politik, bisnis dan kekuasaan, membelit idealisme keluarga kami. Rahasia kotor sekumpulan pejabat negara, yang diungkap papa enam tahun lalu, membuat nyawaku terancam.

Sekitar masih sunyi, hanya terdengar suara alam dan desau angin. Suasana mendukung pikiran ini berpetualang. Namun, sebelum anganku terlanjur terbang jauh. Sosok laki-laki dalam benakku kembali.

Melihatnya, hatiku berdecak kagum. Teringat pertemuan pertama di kamar hotel itu. Aku dijodohkan tanpa tahu seperti apa wujud laki-laki yang kini sudah duduk di hadapanku. Raden santri. Seharusnya dia lebih bisa menahan diri untuk tak menyentuhku. Tapi aku pun sama, tak bisa menghindar dari keinginan untuk selalu ada di dekatnya.

Rangga tersenyum. "Sayang, kamu suka kan?"

"Bisakah kamu berhenti panggil aku, sayang?" jawabku enggan.

Pria ini malah menatapku lekat. Aku membuang pandangan jengah, bersamaan dengan pelayan yang mengantar pesanan kami.

"Kamu juga punya perasaan yang sama, kan?'ucapnya tenang.

Sulit rasanya percaya sepenuhnya kepada laki-laki ini.

"Jelaskan apa maksudmu sebenarnya!" desakku.

Senyumannya berubah getir. "Makanlah dulu. Rasanya sup itu bisa meredakan hati kamu yang kesal. Mau aku yang suapin?"

Spontan aku mendelik, "Nggak usah," jawabku singkat langsung sibuk dengan makanan di hadapanku.

Beberapa saat, kami menikmati hidangan masing-masing.

Rekomendasi menu yang sungguh tepat. Menghirup kuah sop buntut hangat berasa rempah yang khas, diiringi dengan semilir basah angin pegunungan. Juga bersama seorang pria yang berjanji akan menjagaku. Andai saja kami bertemu dengan cara wajar, ragu mungkin tak membelenggu hati ini.

Setelah kami selesai dengan menu masing-masing, Rangga memanggil pelayan untuk membereskan meja dan menyisakan dua gelas minuman saja. Dia menunggu sampai hanya tinggal kami berdua dan mulai berkata.

"Mahera Saptarea Dewi Djojodiningrat. Anak perempuan yang umurnya tujuh tahun lebih muda, dari aku. Anak ketua Badan Intelijen yang jujur. Pertama kali, aku mengenal namamu di usia tujuh belas tahun."

Dadaku bergemuruh. Dia laki-laki yang papa dan mama ceritakan. Aku masih terdiam menunggu kelanjutannya.

"Orangtua kita sepakat menjodohkan kita sejak kamu berusia tujuh tahun. Tuan Soemitro. Ayah kamu tahu kalau anak tunggalnya punya bakat keturunan dari leluhur kalian. Orangtuamu berencana menitipkan kamu, setelah berusia tujuh belas ke pondok pesantren kami. Menikahkan kita berdua, agar kamu menjadi penerus trah santri baru. Keluar dari dunia intelijen, yang tanpa kamu sadar sudah kamu cintai sejak kecil."

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang