Misteri Renata

35 1 0
                                    

Langit menyisakan cahaya kemerahan sebelum menganti jubahnya. Di ufuk barat, matahari mulai tenggelam. Suasana syahdu seiring terdengarnya azan magrib.

Hati bergetar melihat sosok di sampingku, menundukkan kepala dan memejamkan mata. Seolah meresapi tanda panggilan waktu bersujud kepada Sang Khalik. Pertama kali dalam hidup, suara azan begitu menyentuh kalbu.

"Mahera, kamu tahu apa yang selalu kusesali saat azan magrib?"

Suara Hansel memecah hening. Aku hanya menggeleng, pria itu berkata sambil tetap memandang ke arah langit yang mulai terisi bintang. Entah apa dia melihat gerakanku, yang jelas dia mulai berucap.

"Aku merasa sisa umurku berkurang di dunia, tapi begitu banyak kesalahan dalam hidupku. Aku terlambat mengenal siapa Rabbku," ucapnya lagi perlahan menoleh ke arahku.

Terlambat untuk mengalihkan pandangan. Ada getaran tak terduga saat pandangan kami bertemu. Sorot mata itu menyiratkan kerinduan yang dalam, namun bukan untukku. Lelaki ini tanpa menyentuhnya, aku seakan memahami jalan pikirannya.

"Sebaiknya kita salat dulu. Di pondok kecil itu. Kita bisa ke sana. Kamu bisa salat di sana," terangnya sambil menunjuk bangunan kecil tak jauh di dari sebelah kiri dari posisi duduk kami.

"Iya, Hansel." Jawabku kemudian mengikuti langkahnya.

"Aku bawa tiga orang juru masak pribadi sekaligus teman berdiskusi tentang Islam. Cuma beberapa orang yang tahu soal ini. Mereka berdua yang menyiapkan makanan kalau aku berkeliling ke berbagai negara. Aku mau makananku terjaga kehalalannya."

"Sejak kapan kamu menjadi mualaf?" tanyaku

"Tiga bulan yang lalu," jawabnya singkat.

Tiba di bangunan yang dimaksud, Hansel mempersilahkan aku masuk ke ruangan kecil. Dikelilingi kaca dilengkapi dengan sajadah, seperti musholla mini, cukup untuk sekitar enam orang dewasa berjamaah.

Kami disambut seorang pria paruh baya dan satu yang berusia muda. Setelah memperkenalkan aku, Hansel mempersilahkan aku wudhu lebih dulu. Setelah itu, kami salat berjamaah dengan laki-laki paling tua sebagai imamnya.

Setelah salat, aku dan Hansel kembali ke tempat semula. Diikuti oleh dua juru masak tadi. Masing-masing membawa nampan berisi menu makan malam kami, kemudian menatanya setelah aku dan Hansel duduk.

Dua piring nasi beralaskan daun, satu piring besar berisi udang, cumi-cumi berlapis tepung dengan saus sambal dan mayoinase dalam piring kecil di tengahnya, dua gelas kaca iced lemon tea, juga dua gelas air mineral.

Hansel dan aku kompak mengucapkan terima kasih kepada keduanya.

"Mahera, kita makan dulu, setelah itu baru aku bercerita," ajaknya.

Aku mengangguk dan segera meraih piring di hadapanku. Aroma khas ikan dan rempah terasa mengugah selera. Sejenak aku berdoa mengucap bismillah.

"Ini namanya nasi dagang, dimasak bersama santan, disiram kuah gulai tongkol pedas. Sebetulnya ada ikan khas daerah ini. Namanya ikan napoleon, namun aku nggak beri ijin untuk penangkapannya di area pulau ini. Aku nggak mau merusak ekosistem lautan, karena ikan itu sudah mulai langka. Aku nggak mau merusak apa yang nggak bisa aku ciptakan," ucapnya sambil tersenyum.

"Iya, aku setuju sama kamu," jawabku.

Dia tertawa kecil.

"Mahera, kamu mendadak jadi agak pendiam. Apa karena Rangga nggak bisa menghubungi kamu? Makan dulu, kita akan bahas tentang itu," ucapnya kemudian mulai menyantap hidangan di hadapannya.

Bukan sepenuhnya karena Rangga, maka aku terdiam. Bersama Rangga aku selalu berdebar dan hati ini dipenuhi rasa sayang dan cinta. Namun ... Berada di dekat pria ini, menimbulkan perasaan aneh dan rumit dalam batinku. Batin ini berbisik, kami pernah bertemu. Entah bagaimana cara membuktikannya.

Hati untuk MaheraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang