"Tunggu sini, sebentar lagi juga dia datang. Lu cukup layanin dia sejam, abis itu masalah kita selesai. Seratus juta udah cukup mahal, gue aja dulu nggak sampe segitu!"
Aku menatap Vera dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi wanita mungil berambut ikal ini adalah penyelamatku, sedangkan sisanya aku menangisi nasib diri ini. Bagaimana mungkin seorang Mahera Dewi sama seperti perempuan rendahan di hadapanku. Bukan rahasia dia adalah mahasiswi sekaligus mainan para lelaki hidung belang, dan dia tak pernah berusaha menyembunyikan jati dirinya.
"Lu nggak bisa pinjamin gue uang aja, Ver? Gue janji bakal gue bayar segera," pintaku.
"Mau berapa lama lu bayar? Udahlah, ini cara paling aman dan nyaman. Jadi lu punya kenang-kenangan buat lepas keperawanan lu. Tapi, ya, keputusan ada di tangan lu. Gue harus pergi, sebentar lagi cowok itu datang," ujarnya seraya bangkit kemudian bergegas keluar. Batinku nelangsa menatap kepergiannya.
Kamar hotel mewah, elegan dan berkelas. Malam nahas itu telah menyeretku ke tempat ini. Aku bangkit menuju cermin besar di sudut ruangan. Berkaca merutuki kesialan diri.
Wajah ayu, bola mata coklat dengan sorot tajam di bawah naungan sepasang alis senada yang melengkung sempurna, juga bulu mata rimbun. Senyuman dari bibir merah muda bisa membuat siapa pun yang melihat terkesima. Hidung dengan bentuk sempurna. Badan semampai, kulit putih bak pualam dengan rambut kecoklatan panjang. Sungguh serupa penampakan wujud seorang dewi.
Dua puluh satu tahun, aku menjaga mahkota kegadisan. Lambang kehormatan sebagai perempuan berderajat tinggi. Batin ini berontak untuk melepasnya hanya untuk ganti rugi rumah yang terbakar kemarin.
Namun, aku tak kuasa memberi beban kepada Mama. Hampir seluruh harta keluargaku disita demi tuduhan yang tak kunjung terbukti. Seratus juta, dulunya bukan nominal yang besar bagiku, tapi saat ini jumlah itu nyaris mustahil kudapatkan dalam waktu singkat.
Batinku nyeri, kerinduan terhadap Papa dan Mama menyeruak begitu saja. Tuhan jika memang Engkau ada, kumohon lindungi aku. Entah ... seharusnya aku lelah mengadu, memohon dan meminta pada-Nya, rasanya sepanjang hidup belum pernah doa-doaku terkabul, namun saat terdesak hati ini hanya dapat mengingat Sang Pencipta.
Pintu kamar terbuka dan aku terlonjak kaget. Seorang pria tinggi, tegap dengan kemeja putih dan celana hitam serta tas kulit formal, melangkah masuk. Tampaknya dia bukan laki-laki brengsek.
Tidak! Pria itu terlalu segalanya. Terlalu tampan. Terlalu maskulin. Rambut hitam mengkilat, serasi dengan sepasang alis tebal di atas sepasang mata hitam tajam dan hidung dengan bentuk nyaris sempurna. Garis rahangnya kokoh dan ditumbuhi bulu halus serta bibir yang menyiratkan ketegasan sekaligus kelembutan. Dia terlalu memikat!
"Nona Mahera Dewi. Kemarilah," ujarnya dengan nada tegas, setelah duduk di salah satu sofa.
Kakiku rasanya tak bisa digerakkan, namun aku memaksakan kedua kaki ini melangkah, dan berikutnya aku sudah berdiri di belakang sofa tepat di hadapan pria berkulit putih ini.
"Duduklah!" tegasnya sekilas dia seperti memindai cepat diriku dari atas ke hingga ujung kaki.
Gugup. Aku mendorong seluruh naluri untuk melakukan tindakan paling cerdas saat ini dan melarikan diri. Bagaimana jika setelah mahkotaku menjadi miliknya, kemudian aku tak bisa melupakan laki-laki ini?
"Emm ... Perjanjian kita cuma satu jam," ucapku kelu, seraya meremas sendiri jari jemari hingga kukuku mengores permukaan kulit. Perih.
Pria itu tersenyum sinis.
"Kamu akan kubayar untuk lima bulan. Tentu saja dengan bayaran lima kali lipat dari perjanjian awal. Lima ratus juta. Terima atau batal sama sekali?"
Aku tertegun. Nominal yang selama beberapa tahun ini, hanya menjadi angan-angan. Namun harga diri ini terlalu tinggi untuk menerimanya.
"Maksudmu? Kamu membayarku sebanyak itu untuk melayani kamu selama lima bulan? Maaf aku nggak serendah itu."
"Kamu bukan tipeku. Lagipula aku sama sekali nggak tertarik berhubungan badan dengan perempuan yang bisa dibayar. Kamu kerja secara profesional," tegasnya.
Laki-laki itu mengambil sesuatu dari tas kulit hitamnya. Sebuah amplop coklat seukuran HVS dan sebuah pena, kemudian dia menyodorkannya padaku.
"Kuberi waktu tiga menit. Baca dan cepat tanda tangan!" perintahnya.
Aku menerima kertas yang disodorkannya. Sesaat terkesima, data diriku lengkap tertulis di sana. Tak ada yang memberatkan. Cukup bekerja dengan mengikuti semua intruksi dari pria ini, dengan kesepakatan tak ada kontak fisik selama perjanjian berlangsung.
Rangga Malik Ghazzal. Kueja barisan nama yang tertera. Unik. Pas dengan seraut wajah tampan ala Timur Tengah.
"Waktumu habis!" ujarnya menyodorkan pena.
"Yes or Not!" tegasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati untuk Mahera
عاطفيةKisah tentang seorang perempuan priyayi bayaran. Kisah indigo cantik yang akhirnya terlibat dalam pusaran dendam antara dua keluarga penguasa. Kisah pertemuan takdir ketiga anak manusia. Satu perempuan diantara dua pria. Terseret dalam pusaran de...