Bab 35 | Untuk Kamu

40 11 0
                                    

"Darrell? Aduh, kamu itu, ya, benar-benar susah diberitahu. Mama bilang agak lambat saja datangnya. Kok, malah makin cepat, sih?" kini seorang wanita paruh baya yang wajahnya sangat menawan seperti tidak termakan usia menghampiri kami. Dari wajahnya saja aku sudah tahu jika dia adalah Mama Darrell. Mata itu, mata yang sama tajam dan gelapnya seperti milik Darrell. Sedangkan pahatan wajah Darrell sama persis dengan Om Sebastian.

"Astaga! Darrell, Mama tahu kalau Mama sering banget minta kamu untuk bawa perempuan untuk dikenalin ke Mama. Tapi ngga secantik ini juga, dong! Jangan-jangan pakai pelet, ya, kamu? Ayo, ngaku!" Mama Darrell menatapku. Ada seberkas sirat kepanikan dalam matanya. Lalu dia melotot galak ke arah Darrell.

"Ngga, Ma! Kalian ini bikin malu saja, tahu!" Darrell mendengus napas kasar. Sedetik kemudian dia melirik ke arahku. Aku terkekeh kecil. Sepertinya Darrell benar-benar tidak bisa menghindar dari ejekan orang tuanya.

Aku mengambil langkah. Beranjak mendekati kedua orang tua Darrell yang sekarang sudah berdiri berdampingan. Mama Darrell yang tertawa kecil karena sesuatu yang dibisikkan oleh Papa Darrell tidak menggubris elakan Darrell barusan. Sungguh aku bisa melihat sosok orang tuaku di dalam diri mereka.

"Nama saya Ayva, Tante. Dan tenang saja Darrell sama sekali tidak pakai pelet, kok," aku mengulurkan tangan ketika sudah berdiri tidak jauh dari wanita cantik itu. Mama Darrell mengalihkan pandangannya padaku. Menyuruh suaminya untuk diam sebentar menggunakan tangannya.

"Syukurlah! Akhirnya bisa bertemu langsung dengan Ayva. Darrell sudah cerita banyak sekali tentangmu tapi Tante tidak pernah percaya," tanpa perkiraanku, Mama Darrell melangkah maju untuk memelukku. Sontak aku tersenyum kala kehangatan tubuh wanita itu mendekapku erat. Pelukan ini sama seperti pelukan Ibu dan Bibi. Aku sangat merindukan mereka berdua.

"Saya Reina, Mama Darrell. Kamu harum juga, ya, Va," kurang lebih satu menit kami berpelukan, Tante Reina mengurai pelukan kami. Tangannya mengusap rambutku lembut. Hangat, perasaan itu yang kurasakan ketika mata miliknya merasuk jiwaku. Aku tertawa kecil mendengar pernyataannya.

Darrell di belakangku sudah mengusap wajah kasarnya. Tidak habis pikir dengan setiap kata yang keluar dari bibir kedua orang tuanya itu.

"Ayo, duduk langsung, Va. Kamu pasti sudah lapar. Ini sudah masuk jam makan malam," Tante Reina mempersilahkan kami untuk segera duduk di meja makan. Orang-orang yang tadinya hilir mudik menyiapkan makanan sudah menghilang entah ke mana. Hanya menyisakan kami berempat di ruang makan yang besar ini. Darrell menarik sebuah kursi untukku.

Melihat itu aku sedikit salah tingkah. Padahal biasanya Darrell memang selalu melakukan hal itu. Tapi ketika di depan orang tua Darrell aku masih merasa canggung dan sedikit malu. Jadilah aku tidak bisa menghalau semburat merah yang menjalar di kedua pipiku.

Aku terpana ketika melihat Om Sebastian melakukan hal yang sama untuk istrinya. Hatiku berbunga ketika melihat itu. Darrell mengikuti sikap Om Sebastian yang diberikan untuk Tante Reina. Darrell mencontoh orang tuanya.

"Eh, iya, ketemu di mana sama Darrell, Va? Tante ngga percaya kalau kalian bertemu di warung kopi," sesaat setelah aku mengambilkan Darrell satu porsi nasi dengan lauk semur daging kentang yang menggoda selera, Tante Reina membuka percakapan. Sepertinya Darrell suka sekali menyinggung kejadian ketika banjir. Aku ingat waktu bertemu Talia Darrell juga bilang sesuatu tentang warung kopi. Firasatku mengatakan waktu itu Darrell juga menyinggung tentang pertemuan denganku.

"Sebenarnya kita ketemu di kantor, Tante," aku menjawab pertanyaan Tante Reina dengan senyum kecil. Mengingat pertemuanku pertama kali dengan Darrell membuatku sedikit malu. Waktu itu, kan, dengan percaya dirinya aku menegur Darrell duluan.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang