Bodoh, aku baru saja membasahi kemeja pria itu dengan air mata. Lagipula apa yang sedang dia lakukan di sini? Bukankah ini sudah terlalu sore untuk membicarakan pekerjaan dengan Pak Bima? Aku tidak bisa mengusir kejadian barusan dari pikiran.
Apalagi aku meninggalkan pria itu untuk ke toilet. Aku mencuci tangan dan kemudian membasuh wajah. Kemudian aku menatap wajahku lama pada cermin yang ada di hadapanku. Mataku bengkak sedikit dan hidungku merah.
Tanda bekas menangis. Aku kembali membasuh wajah. Kemudian menepuk pipiku ringan. Setelah itu dengan langkah tegap dan seperti tidak terjadi apa-apa barusan, aku kembali ke ruanganku.
"Ayva, tadi ada Darrell katanya dia ingin menemui kita," Genevieve berkata ketika wajahku muncul dari balik pintu.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tidak tahu. Dia bilang untuk segera menemuinya di ruang Pak Bima," aku menghela napas panjang. Nasib sial apa yang sedang kuhadapi saat ini? Bagaimana aku akan menemui Darrell? Aku sudah cukup malu karena situasi barusan.
"Kok, malah melamun? Ayo," Genevieve menyadarkanku. Dia sudah berdiri di ambang pintu menungguku untuk mengikutinya ke ruangan Pak Bima.
"Sebentar," aku mengambil buku catatan dan pulpen. Kemudian memakai kacamataku dengan cepat.
"Tumben pakai kacamata," Gen bertanya. Karena meskipun aku memiliki kacamata, aku jarang sekali memakainya karena aku hanya memiliki rabun jauh dengan tingkat yang sangat rendah. Aku mengangkat bahu mengabaikan perkataan Gen. Sebenarnya aku ingin menyembunyikan mataku yang sedikit sembab.
Kami sudah berdiri di depan meja kerja Pak Bima lima menit kemudian. Aku terus menunduk memperhatikan ocehan Pak Bima. Mengabaikan sepasang mata yang terus berusaha menarik perhatianku sejak tadi. Gen hanya terdiam sambil mencatat beberapa hal penting yang disampaikan Pak Bima.
"Kalian ikut saya bulan depan," barulah aku berkonsentrasi pada ucapan Pak Bima barusan.
"Maaf. Tapi bapak mau kemana, ya?" tanyaku bingung. Pak Bima menjelaskan jika harus pergi ke Jogja untuk urusan proyek lainnya yang kami kerjakan bersama Finneas Group. Aku menggangguk paham. Tunggu, jika Pak Bima juga berangkat bukankah Darrell juga akan turut serta?
Sontak aku mengalihkan pandanganku ke arah Darrell yang berdiri tidak jauh dari kursi Pak Bima. Mata kami terkunci. Dan aku tenggelam dengan mata gelapnya yang dalam. Dia mencari-cari sesuatu di mataku tapi aku kembali menatap Pak Bima yang melanjutkan penjelasannya.
Sepuluh menit kemudian Pak Bima menyudahi pertemuan itu. Aku dan Gen balik kanan kembali ke ruangan kami.
"Wah, Jogja. Aku tidak pernah ke sana, Va," Genevieve terlihat sangat bersemangat sekarang. Dia merentangkan kedua tangannya ke atas. Bahkan cara jalan Genevieve sudah berubah. Dia sedang meloncat-loncat kecil bahagia.
"Oh, ya? Kalau begitu kamu akan menyukainya," aku juga sangat senang dengan kabar ini. Itu artinya aku bisa mengunjungi Paman dan Bibi lebih cepat. Tidak perlu menunggu lama untuk kembali mengambil cuti. Meskipun pertemuan itu akan sebentar tapi tetap saja itu semua cukup untuk mengobati rasa kangenku terhadap rumah.
"Langsung pulang, Gen?" aku bertanya.
"Iya, tapi tidak ke apartemen. Hari ini katanya keluarga pacar Kak Olive mau ke rumah," aku tahu Olive. Kami sudah bertemu beberapa kali saat Gen mengundangku ke rumah orang tuanya. Dia seumuran denganku. Membuat kami cepat akrab.
"Wah, akhirnya mau menikah juga, ya? Mereka sudah lama pacaran, kan?" aku ikut senang mendengarnya.
"Lama sekali, Va. Malah hitungannya dari sebelum aku pacaran sama Jacob. Lagipula rencananya masih sekitar satu atau dua tahun lagi," Gen terkekeh geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)
Romance"Aku terlalu mencintainya hingga mengatakannya saja sudah sangat sulit sekali," itu yang dikatakan Darrell padaku dan ketika itu aku berusaha menutupi perasaanku darinya. Dilihat dari penampilan, aku, adalah seorang perempuan mandiri, dingin, dan se...