Bab 39 | Luka Lama

66 10 0
                                    

Siang itu aku langsung menelpon Paman dan Bibi Ayva. Sebenarnya sejak awal aku ragu untuk menghubungi mereka. Tapi dorongan hatiku memaksa untuk segera memberitahu mereka secepatnya. Bagaimanapun juga mereka adalah pengganti orang tua Ayva selama ini.

"Halo, Paman. Maaf jika saya mengganggu waktunya. Ini Darrell," aku berkata cepat.

"Oh, Darrell? Calon suaminya Ayva yang dulu, kan?" Paman Ayva terkekeh geli di ujung sana. Membuatku menarik senyum sesaat. Mengingat sambutan keluarga Ayva tahun lalu.

"Ayva sakit, Paman," akhirnya aku mengucapkan kalimat itu. Hening sesaat. Tidak ada balasan apapun dari seberang sana selama beberapa detik.

"Sakit? Sakit apa, Darrell?" Paman akhirnya membuka suara. Kembali bertanya padaku.

"Ayva tidur, Paman. Dia mengalami nervous breakdown," kataku menjelaskan sesingkat-singkatnya.

"Gawat. Jadi sekarang dia di mana, Nak? Sudah berapa lama dia tidur?" aku mendengar nada bicara Paman yang bergetar karena khawatir.

"Kemarin siang saya masih menemuinya. Setelah itu dia pulang. Lalu ketika saya susul ke rumah, Ayva tidak membukakan pintu. Jadi saya perkirakan dia tidur sejak siang kemarin," aku menjawab. Di seberang sana aku bisa tahu jika Paman dan Bibi juga terkejut mendengar kabar itu. Mereka bertekad besok pagi akan berangkat ke kota kami. Malam itu aku dan Genevieve memutuskan untuk menginap.

Genevieve tidur di kamar Ayva, menemaninya jika sewaktu-waktu wanitaku itu tiba-tiba bangun. Sedangkan aku tidur di ruang tengah. Sebenarnya kantuk yang melanda sangat kuat. Tapi sesuatu seperti menahanku untuk tidak terlelap.

Keesokan harinya aku pulang untuk membersihkan diri sebentar. Kemudian pergi lagi untuk menjemput Paman Ayva sekeluarga di bandara. Hari ini hari selasa. Bandara sudah tidak terlalu ramai seperti ketika terakhir kali aku berangkat beberapa bulan lalu.

Segera setelah melihat wajah keluarga Ayva, hatiku bisa sedikit lega dibandingkan dengan kemarin. Paman dan Bibi terlihat jauh lebih tenang dari yang aku bayangkan. Membuat aku yakin jika Ayva akan dirawat dengan baik oleh mereka. Aku menghampiri keluarga kecil itu dengan langkah cepat.

"Pa, Papa," Danis, sepupu Ayva yang kini sudah berumur hampir satu tahun terlihat merentangkan tangan ke arah Paman. Wajahnya yang bulat dan pipi tembam membuat raut manja.

"Aduh, Danis sama Mama dulu, ya. Papa, kan, lagi bawa koper, Nak," Paman Ayva tersenyum sendu. Menolak permintaan anak semata wayangnya itu sepertinya memang berat. Tapi bisa aku lihat walaupun masih kecil, Danis mengangguk penuh pengertian.

"Paman," aku memanggil Paman Ayva lirih. Membuat keluarga kecil itu menoleh seketika. Aku mencium tangan Paman dan Bibi dengan syahdu. Sedangkan Danis mengerjap-ngerjapkan matanya ketika melihat kehadiranku.

"Darrell, Ayva masih belum bangun juga, Nak?" Paman menepuk pundakku. Aku yang kini sudah ikut membantu membawa koper berjalan di sampingnya.

"Belum, Paman," aku menghela napas resah. Paman hanya mengangguk menjawabnya. Aku langsung mengantar Paman dan Bibi ke rumah Ayva.

Perasaan gelisah dan tidak tenang kembali menyergap hatiku ketika sudah kembali ke rumah Ayva. Mendapati pemandangan yang sama ketika aku meninggalkan rumah Ayva beberapa jam lalu. Aku bolak-balik meletakkan beberapa koper yang dimiliki keluarga Paman Ayva ke dalam kamar tamu.

Kami disambut dengan Gen di pintu depan rumah Ayva. Genevieve dengan sigap mencium tangan Paman dan Bibi.

"Gen, terimakasih banyak, ya, sudah menjaga Ayva," Bibi yang sedang menggendong Danis memeluk Gen singkat. Gen membalas dengan gumaman dan anggukan tegas. Dia tidak jauh berbeda denganku. Sama-sama memiliki kekhawatiran tersendiri.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang