Bab 40 | Lelap

70 10 0
                                    

Ayva POV

Memori masa laluku kini menari riang menghiasi mimpi. Rentetan kejadian itu tersusun rapi. Terekam jelas sejak aku bisa berdiri tegak tanpa topangan atau gandengan siapapun. Wajah Ayah dan Ibu banyak menyambangi kali ini.

Aku menjadi seorang penonton yang menyaksikan kehidupanku sendiri. Anehnya aku sedang memakai gaun putih milik Ibu. Gaun itu terlihat kuno dengan renda cantik. Bentuknya yang sedikit ketat membungkus tubuhku dengan sempurna.

Sedang di bawah pinggang kain itu luruh mengembang. Aku bertelanjang kaki. Tapi anehnya ketika kaki polos ini menyentuh tanah berumput, aku tidak merasakan sakit sama sekali. Rumput yang kupijak sangat lembut dan menghanyutkan.

Rambutku yang terurai sesekali terbawa arah angin sepoi-sepoi menerpa wajahku lembut. Di kejauhan aku melihat seorang anak kecil yang berumur sekitar empat tahun sedang mencuri-curi untuk keluar rumah. Tangannya yang kecil diangkat ke atas, mencoba meraih air hujan yang jatuh kala itu. Langkahku mengayun lembut untuk melihat lebih dekat.

"Astaga, Ayva! Kalau hujan langsung masuk rumah, Nak," tubuh kecil itu sudah terangkat ketika Ayah langsung menggendongnya masuk ke dalam rumah. Tapi tangan kecilnya masih meraih-raih untuk menyentuh air hujan yang tempias dari halaman belakang.

"Dek, Ayva main hujan lagi!" suara Ayah sengaja dikeraskan untuk mengadu pada Ibu. Waktu itu semuanya terasa normal dan hangat, sangat hangat. Walaupun aku bisa melihat tubuh kecil itu bergetar karena kedinginan luar biasa. Tapi dekapan Ayah yang menggendongnya aku rasa bisa menyalurkan kehangatan yang tak terkira.

Ditambah wajah panik Ibu yang menghampiri mereka dari dapur. Beliau menepuk jidatnya sendiri ketika melihat tubuh yang sekarang ada di pelukan Ayah sudah basah kuyup. Tentu saja aku yang masih kecil saat itu hanya bisa tertawa-tawa merasakan sensasi beberapa butir air hujan di tubuh. Sedangkan raut khawatir terpahat jelas di wajah kedua orang tuaku.

Aku berdiri di samping tiga orang yang sekarang sedang sibuk bercengkrama. Menatap dalam-dalam wajah dua orang yang beberapa tahun ini hanya bisa kusambangi lewat mimpi. Tidak lama aku melihat kedua orang tuaku memeluk tubuh kecil itu. Membuatku memaksa masuk ke dalam dekapan hangat yang sangat kurindukan.

Sedetik kemudian kedua orang tuaku menghilang dari tempatnya. Juga tubuh kecil itu tidak aku lihat lagi di manapun. Kali ini kakiku merasakan dinginnya lantai keramik rumah. Aku menyapu mata ke seluruh ruangan.

Tidak ada siapapun. Aku kembali ke halaman depan rumah orang tuaku. Halaman yang asri itu terlihat sangat terawat berkat tangan berbakat Ibu. Aku menatap dalam pot-pot bunga anggrek yang tergantung rapi di dekat pagar rumah.

Ketika aku sedang menatap bunga itu, mataku menangkap seorang remaja yang baru saja turun dari sebuah sepeda motor milik teman prianya. Aku berdiri untuk menghampiri dua orang itu dengan langkah anggun. Langkahku terhenti ketika pria itu membuka kaca helmnya. Menampilkan wajah dengan gurat yang sangat aku kenal.

"Kak Gavyn harus janji, ya? Kakak harus menyelesaikan cerpen yang Ayva baca di sekolah tadi," gadis itu mengulurkan jari kelingking ke arah pria itu. Dari balik pagar aku bisa melihat pria itu menarik garis bibir, membentuk senyum yang menawan.

"Aku janji. Aku akan menyelesaikannya untukmu, Ayva," kalimat itu membuat sekelebat memori yang beberapa tahun ini kulupakan tertumpuk begitu saja. Seolah memaksaku untuk segera mengingat sosok pria yang sedang memagut jari kelingking gadis itu. Pandanganku seketika buram karena cairan yang memaksa untuk keluar dari kedua kelopak mataku. Aku mengambil beberapa langkah untuk mundur, terlalu terpekur melihat pria yang sedang memandang gadis itu dengan tatapan memuja.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang