Tiga bulan berlalu begitu saja di depan mataku. Tidak ada banyak perubahan yang terjadi. Perasaanku pada Darrell juga masih sama. Walau memang aku berniat untuk menyerah, tapi jantungku masih tidak bisa diajak bekerja sama ketika Darrell menampakkan diri di hadapanku.
Jadwal makan siang kami tetap sama. Terkadang Pak Bima atau Gavyn akan bergabung. Tapi ada sesuatu yang aneh. Akhir-akhir ini Darrell terlihat berbeda.
"Ayva," suara Darrell dari ponsel yang sengaja aku loudspeaker memanggilku. Malam ini aku sedang membuat laporan bulanan untuk salah satu proyek yang perusahaan kami tangani. Aku menyahut Darrell dengan gumaman pelan. Darrell baru saja menelpon.
"Kamu sedang apa?"
"Kerja. Laporan bulanan harus aku serahkan Pak Bima minggu depan. Aku tidak jadi lembur tadi," jariku terus menghantam tombol-tombol yang ada di depanku cepat.
"Aku temani, ya," Darrell berkata dengan lembut. Aku tidak bisa mengendalikan kupu-kupu yang sedang mengaduk-aduk perut saat ini. Untung saja Darrell tidak sedang di depanku. Jadi aku tidak malu dengan rona merah yang menjalar di seluruh wajahku.
"Terserah," aku berdeham untuk membersihkan tenggorokan. Tidak ingin terdengar salah tingkah.
"Bagaimana kabar Danis, Va? Aku sudah lama tidak melihat fotonya. Kamu tidak pernah memamerkan bayi itu lagi padaku," diakhir kalimat Darrell tertawa kecil. Aku tersenyum miring. Memang dari dulu aku sering memamerkan pada teman-temanku kelakuan lucu Danis yang selalu dikirim Paman maupun Bibi. Tapi sejak pertemuan terakhir dengan Darrell dan Lylia yang membuatku berusaha untuk meredam perasaanku pada Darrell, aku tidak pernah lagi memperlihatkan Danis padanya.
"Danis baik-baik saja. Tahun baru lalu ketika aku ke sana dia sudah bisa memanggil namaku. Walaupun nama Ayva berubah menjadi Aya," aku tertawa pelan. Mengingat wajah bulat Danis pertama kali memanggil namaku. Darrell juga ikut terkekeh mendengar ceritaku.
"Ngomong-ngomong besok kita makan apa, ya?" Darrell kembali berbicara setelah beberapa saat terdiam.
"Kita?" aku balik bertanya. Tidak yakin dengan pertanyaan Darrell barusan. Takut jika salah mendengar.
"Iya, kita. Besok hari jum'at, Va," Darrell mengingatkan.
"Oh, aku lupa," kataku pelan. Satu hari dalam seminggu, hari jum'at belakangan ini adalah hari kesukaanku. Meskipun harus mengukung habis perasaanku, setidaknya aku bisa mengagumi Darrell dalam diam.
"Kamu tidur terus, sih, Va. Jadi sering lupa, kan," Darrell yang sudah hapal perangaiku, mengomel.
"Kan, ngantuk, Darrell," aku membela diri tidak mau kalah. Darrell terkekeh sebentar di seberang sana.
"Sepertinya kamu kelelahan, Va," kata Darrell serius. Aku diam tidak berniat untuk menjawab.
"Bima bilang ke aku produktivitas kerjamu meningkat. Tapi itu berpengaruh sama tubuhmu, kan? Kamu jadi sering lelah. Minggu lalu saja sebelum makan siang kamu tidur di ruangan," benar apa yang Darrell katakan. Aku hanya menyibukkan diri agar tidak terlalu tenggelam dengan perasaanku padamu, bodoh. Ingin sekali aku berkata seperti itu, tapi aku mengurungkan niat.
Aku hanya berdeham pelan. Tidak ingin membuat Darrell kembali berbicara panjang lebar menegurku.
"Ingat pesan Bibi, Va," kalimat andalan Darrell keluar. Jariku yang daritadi mengetik lincah terhenti. Aku menghembuskan napas lelah. Menatap sebentar ponselku yang tergeletak di selimut, menutupi kakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)
Romance"Aku terlalu mencintainya hingga mengatakannya saja sudah sangat sulit sekali," itu yang dikatakan Darrell padaku dan ketika itu aku berusaha menutupi perasaanku darinya. Dilihat dari penampilan, aku, adalah seorang perempuan mandiri, dingin, dan se...