"Ayva, ayo turun," Darrell mengusap bahuku pelan. Menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku menoleh padanya tersenyum kecil. Lalu segera membuka pintu dan keluar dari mobil.
Gen dan Pak Bima berjalan duluan. Aku berjalan dengan sedikit pelan. Hendak menghampiri mereka berdua yang sudah berjarak beberapa langkah di depanku. Saat aku hampir berhasil menyetarakan langkah dengan mereka, tangan Darrell menarik tanganku lembut.
"Apa kamu baik-baik saja?" kata Darrell menatapku tepat di manik mata hitam milikku. Aku mengalihkan pandangan.
"Aku baik, Darrell. Di sini sudah tidak dingin lagi," aku menjawab ringan.
"Biar aku ulang. Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" pertanyaan Darrell membuatku meneguk salivaku sendiri.
"Tidak ada," jawabku singkat.
"Ayolah, Va. jika memang benar ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa menceritakannya padaku. Setidaknya jangan dipendam sendirian. Kita, kan, teman," perkataan Darrell membuatku tersenyum kecut. Bagaimana aku bisa menceritakannya pada Darrell jika yang membuat aku terganggu adalah dia yang sepanjang jalan tidak berhenti cekikikan dengan Lylia? Tentu saja aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya seorang teman, dan Darrell tidak merasakan hal lain yang lebih dari hubungan itu, hanya aku.
"Kenapa diam saja, Va?" Darrell bertanya lagi.
"Aku tidak apa-apa, Darrell. Aku lapar," aku menjawab dengan alasan seadanya. Alasanku dipercayai Darrell. Pria itu tertawa mendengar itu. Sebentar lagi dia pasti akan mengejekku.
"Kalau begitu ayo, makan. Kamu galak banget kalau sedang lapar," Darrell mengedipkan sebelah matanya padaku. Tangannya yang tidak melepas pergelangan tanganku sedari tadi, kembali menarikku lembut. Aku berusaha melepas genggamannya tapi aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang di restoran ini. Jadi akhirnya aku mengalah, membiarkannya membawaku ke meja yang sudah ada Gen dan Pak Bima di sana.
Darrell menarik sebuah kursi kosong yang ada di sebelah Gen dan mempersilahkanku duduk. Tidak lupa aku menggumamkan kalimat terimakasih. Dengan sangat pelan tentunya. Darrell mengangguk riang dan mengambil tempat duduk di sebelah kananku.
Siang itu kami menghabiskan makanan dengan beberapa percakapan ramai dan ringan. Dengan topik di luar pekerjaan. Aku tidak menyangka ternyata Pak Bima tidak sedingin yang aku duga. Dan aku beberapa kali menangkap Pak Bima menatap Gen dengan sorot mata berbeda.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, suasana hatiku sudah berubah kembali. Sama seperti tadi, Darrell kembali menelpon Lylia. Membuatku kembali mengalihkan pandangan keluar. Hal itu juga membuatku berpikir kalau nanti malam aku akan ke rumah Paman sendirian saja.
Rasanya sangat tidak enak jika mengganggu waktu Darrell bersama Lylia. Ketika sampai di parkiran hotel, Pak Bima memberikan kunci mobilnya pada Darrell. Menghimbau Darrell saja yang membawanya untuk menemaniku ke rumah Paman. Karena jarak Malioboro dengan hotel kami memang sangat dekat.
Darrell hanya mengambil kunci itu tanpa mengiyakan, masih fokus dengan percakapannya. Aku yang melihat itu segera berjalan cuek kembali ke kamar hotel. Aku memiliki sebuah rencana. Dan Gen tidak perlu mengetahuinya.
Aku akan tetap sendirian ke rumah Paman. Dibalik aku yang tidak ingin merepotkan, rasanya aku sudah muak mendengarkan tawa cengengesan Darrell yang sedang bertelepon ria dengan Lylia. Aku sadar aku bukan siapa-siapa. Jadi lebih baik aku menghindari situasi itu daripada harus terjebak dengannya.
"Gen jam setengah tujuh malam saya tunggu di lobby, okay?" Pak Bima berbicara pada Gen sebelum berpisah untuk kembali menuju kamar masing-masing. Gen mengangguk bersemangat. Setengah tujuh, berarti aku akan berangkat setelah Gen dan Pak Bima pergi. Benar, Ayva. Itu rencana yang bagus, batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)
Romance"Aku terlalu mencintainya hingga mengatakannya saja sudah sangat sulit sekali," itu yang dikatakan Darrell padaku dan ketika itu aku berusaha menutupi perasaanku darinya. Dilihat dari penampilan, aku, adalah seorang perempuan mandiri, dingin, dan se...