Bab 13 | Lapangan Udara

113 9 0
                                    

"Kelas bisnis? Kenapa tidak membeli tiket ekonomi saja? Buang-buang uang, kan, Jogja dekat, ya?" aku bertanya pada Gen yang sedang menunjukkan arah menuju lounge room.

"Perintah Pak Bima untuk sekertarisnya," Gen menjawab. Jujur saja aku tidak pernah terbang dengan kelas bisnis tentunya. Tidak seperti dugaanku, lounge room hari ini terlihat lebih ramai. Wajar saja ramai karena ini adalah akhir pekan, batinku.

"Kemarin pulang bareng Bima?" suara Darrell mengejutkanku dari belakang. Membuatku mengusap tengkuk leher karena sedikit merinding.

"Bareng? As if pulang berdua maksud kamu? Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin menyuruh atasanku untuk mengantarkanku pulang, Darrell," aku menjawab pertanyaan Darrell yang membuatku bingung. Kenapa bisa pria di sebelahku ini berpikiran seperti itu?

"Tapi kemarin kamu bilang ternyata masih ada Bima," Darrell kembali berkata tidak mau kalah. Aku mendengus sebal.

"Ketika di telepon, kan, aku bilang padamu untuk menemaniku sampai parkiran. Jadi itu yang dilakukan Pak Bima tadi malam. Menemaniku sampai parkiran," aku menjelaskan membuat Darrell kembali terdiam.

"Gavyn," Darrell berkata dengan pelan. "Gavyn mengantarmu tadi?" lanjutnya kini menatap mataku dalam. Kami sudah duduk menunggu waktu keberangkatan. Gen menemani Pak Bima untuk mengambil sarapan. Membuatku terjebak dalam perbincangan dengan Darrell.

"Iya, dia mengantarku," kataku dengan santai.

"Kenapa dia mengantarmu? Kalian dekat?" Darrell terus bertanya.

"Dekat. Dia tetanggaku. Bukankah kamu pernah bertemu dengannya waktu itu di rumahku?" aku mengingat-ngingat. Perkataanku barusan membuat Darrell menatap tajam.

"Hanya tetangga, kan?" sungguh pria ini seperti sedang mengiterogasiku saja. "Dia juga teman dekatku tentunya," aku menjawab lagi.

"Baguslah," kali ini Darrell berkata pelan. Dalam jarak beberapa meter aku melihat Pak Bima dan Gen yang berjalan beriringan berdua. Aku melihat Gen yang kewalahan membawa bingkisan makanan, ingin menghampirinya berniat membantu. Tapi belum sempat aku berdiri, Darrell sudah menarik tanganku sontak saja bokongku kembali menghantam permukaan sofa.

"Tunggu," katanya. Kali ini dia menatapku dengan wajah yang terlewat serius. "Apa... kamu menyukainya?" pertanyaan itu membuatku menatap Darrell seperti Darrell adalah alien yang sedang duduk di depanku. Aku terdiam cukup lama menatap Darrell seperti itu.

"Sungguh pertanyaan yang sangat tidak penting, Darrell," aku akhirnya menjawab Darrell tanpa memberi jawaban yang jelas. Aku malah mengabaikan pertanyaannya dan bersandar di bahu sofa. Bagaimana aku bisa menyukai kalau perasaanku selalu saja menepi padamu? Pertanyaan Darrell membuatku kesal.

Kesal karena dia tidak menyadari perasaanku. Tentu saja, Ayva. Kamu sama saja dengan Darrell, terlalu cupu hingga tidak berani menyatakan bahkan tidak berani memperlihatkan perasaan kamu sendiri. Habisnya pria yang aku suka sudah punya hati lain, bagaimana nyaliku tidak ciut?

"Silahkan, Pak Darrell, Bu Ayva, sarapannya," Gen memberikan kami masing-masing sebungkus roti. Dia juga menyerahkan segelas kopi untuk Darrell dan teh untukku. "Terimakasih, Gen," kata Darrell seraya melahap roti itu dengan kasar. Aku yang melihatnya meringis karena bisa melihat remahan roti yang ada di ujung bibir Darrell.

"Pelan-pelan makannya, Darrell," aku memberikan tisue untuk Darrell. Dan dia menyambut tisue itu sambil tersenyum tulus padaku. Senyum itu seketika membuat hariku lebih cerah saat itu juga. Tapi aku buru-buru mengenyahkan pemikiran itu ketika teringat sikapnya pada Lylia tadi.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang