Bab 4 | Persiapan

134 13 0
                                    

 Kakiku membeku karena cuaca dingin yang menyapa. Aku menggeliat menarik selimut. Tapi percuma karena mataku sudah mengerjap terbuka. Seperti menarikku paksa dari mimpi.

Aku menggosok mataku pelan. Merenggangkan otot-otot tubuhku dengan malas. Berkali-kali menguap karena tidak bisa menahan kantuk yang masih bergelantung. Tapi otakku memaksa untuk bangun dan segera bersiap.

Aku beranjak duduk di tepi ranjang. Menatap kosong gorden yang menutupi jendela besar di kamarku. Dengan pelan aku berdiri dan mulai membuka gorden berwarna abu-abu itu. Mataku memicing menyesuaikan cahaya matahari yang redup mulai menelisik masuk.

Lantunan lagu khas 80-an sudah menghiasi setiap sudut kamarku. Lagu yang bisa menyeretku begitu saja kembali membuka luka yang berusaha aku kubur dalam-dalam. Setangkai Anggrek Bulan yang dinyanyikan Broery Marantika dan Emilia Contessa adalah lagu kesukaan kedua orang tuaku. Sejak mereka meninggal, lagu itu seperti menyeretku kembali mengulang ingatan hari yang kelam itu.

Aku memanjakan mata dengan pemandangan komplek yang sangat hijau dan tenang. Aku terperangah untuk sesaat. Berdecak kagum dan menarik napas panjang. Semua keindahan ini malah menyeretku kembali ke masa lalu.

Kedua telingaku menangkap setiap alunannya yang lembut, air mata akan selalu menggenang di pelupuk mata. Memaksaku untuk tidak pernah lupa. Alunannya selalu membawa kembali ke masa itu. Sejak tiga tahun lalu hingga detik ini, aku masih bisa mengingat hari itu dengan jelas.

Bagai embun pagi hari

Bunga-bunga segar lagi

Bertembang harapan hati

Hari bahagia menanti


****


"Ayva, sebentar lagi kapalnya mau jalan, nih. Kamu, sih, pakai alasan banyak tugas segala, jadinya tidak bisa ikut Ayah dan Ibu jalan-jalan, kan," Ayah mengejekku diseberang sana. Aku memang sengaja menelponnya sekedar menanyakan kabar. Mereka sedang liburan sedangkan aku pagi ini masih terburu berangkat ke kantor tempatku menjalankan Praktek Kerja Lapangan di perusahaan milik Pamanku.

"Jangan mengejek Ayva, Ayah. Jujur saja kalau kalian berdua merindukan kehadiran Ayva di sana, bukan?" aku membalas ayah balik menggoda. Ayah terkekeh geli. Sangat gengsi untuk mengiyakan perkataanku barusan.

"Siap-siap berangkat kerja, Ayva. Nanti Pamanmu yang galak itu akan marah-marah kalau kamu sampai terlambat," sahutnya semakin mengejekku lebih jauh. Aku mendengus sebal yang lagi-lagi disambut oleh gelak tawa Ayah.

"Ibu sayang kamu, Ayva. Kami harap kamu di sini bersama kami, Nak," tawa Ayah yang kali ini sangat menjengkelkan berubah menjadi suara ibu yang lembut dan teduh. Aku bisa merasakan ketulusan dan senyum ibu dari jauh.

"Aku juga sayang Ibu dan Ayah. Cepat kembali, ya, Ayva sudah kangen," kataku hampir meneteskan air mata. Aku sangat terpengaruhi dengan beban pekerjaan dan perkuliahanku. Membuatku semakin merindukan sosok mereka di sampingku.

"Baiklah, kami pergi dulu, Va. Kapalnya sudah siap. Bye," Ibu pamit.

"Bye, love you," balasku sambil mengusap setitik air mata yang lolos dari kelopak mataku. Aku menutup panggilan dan berjalan ke arah jalanan. Hendak memanggil taksi untuk berangkat menuju kantor Paman.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang