Aku sudah berulang kali menutup mulut karena menguap. Darrell di sampingku menutup mata. Entah dia tertidur atau tidak. Aku berusaha mengabaikannya.
Rasa pusing kembali menghampiriku. Semalam aku sampai di rumah pukul sepuluh. Jalanan macet total. Ketika sampai rumah pun aku tidak langsung istirahat. Melainkan mengemas barang apa saja yang akan dibawa.
Tentu saja aku adalah seseorang yang gugup karena suatu keberangkatan ke luar kota. Padahal tidak sekali dua kali aku bepergian. Aku menghela napas panjang. Lalu mengeluarkan dua pil obat pereda mabuk perjalanan.
"Mau?" aku menawarkan Darrell. Memperlihatkan satu keping obat yang masih belum terbuka.
"Tidak, terimakasih, Ayva. Apa kamu selalu mabuk dalam perjalanan?" Darrell bertanya yang aku jawab dengan gelengan sekilas. "Tidak juga, tapi aku sedikit takut jika naik pesawat. Jadi lebih baik aku tidur sebentar," setelah itu aku meneguk pil diselingi air mineral. Aku kembali melihat pemandangan keluar dan tidak lama kemudian sudah menyelami alam bawah sadar.
Aku tidak terkejut ketika mendapati diri yang ketiduran. Ayolah, aku memang orang yang 'suka' tidur tapi aku juga sedang berada di perjalanan menuju luar kota dan barusan meminum obat pereda mabuk perjalanan, itu wajar. Yang lebih membuatku terkejut adalah pertama, kepalaku yang sakit karena nyatanya bantal kelas bisnis pesawat ini tidak bisa menghalauku dari kebiasaan posisi tidur yang tidak karuan. Kedua, tubuhku yang meringkuk dengan selimut yang hampir menutup seluruh tubuhku kecuali kepala tentunya.
Dan ketiga, jendela yang tadinya terbuka juga sudah tertutup menghalau cahaya matahari untuk menyilaukanku. Aku mengernyitkan kening. Seingatku selimut yang memang ada tidak aku pegang ataupun aku pakai. Tentu saja jendelanya tadi juga terbuka.
Disebelahku Darrell juga terlelap. Buru-buru aku mengalihkan pandangan. Tidak ingin berlarut memandang wajah damainya yang akan berakhir dengan Darrell yang menangkap basah tatapanku. Gigiku bergemelutuk karena kedinginan.
"Atchi!" aku menutup bibir dan hidung bersamaan. Hidungku tergelitik karena suhu pesawat yang sudah lebih dingin dari saat aku ketiduran setengah jam lalu. Aku mencoba merogoh tas mencari tisue tapi tidak menemukannya sama sekali. Dengan niat mengelap sedikit cairan yang keluar dari hidung yang memerah.
Sebuah tangan kokoh menyodorkan dua lembar tisue ke hadapanku. Aku menerimanya sambil menggumamkan kalimat terimakasih. Darrell kini sudah membuka matanya. Padahal sesaat yang lalu dia masih terlelap.
"Sudah lama bangun, Va?" pria itu bertanya dengan suara yang sedikit parau, sisa tidurnya.
"Barusan saja, Rell," aku menjawab. "Kamu... terbangun karena aku bersin?" aku bertanya sedikit tidak enak. Apa karena bersin kecilku bisa membuat Darrell terbangun?
"Iya. Apa kamu sakit?" Darrell menempelkan tangannya pada keningku. Tangannya menyalurkan kehangatan pada keningku yang dingin. Sontak saja sikapnya membuat aku merah merona. Aku hanya bisa mematung gugup.
"Hmm, badan kamu tidak panas tapi wajahmu memerah. Kamu yakin kamu baik-baik saja?" Darrell menatap tepat ke arahku. Matanya yang teduh dan dalam sudah dipenuhi dengan sorot khawatir. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihatnya lebih jelas. Bahkan ketampanannya sudah bertambah seratus persen.
Aku menahan napas dua detik. Darrell menatapku bingung lama sekali. Seperti menelaah apa ada yang salah dengan diriku. Padahal aku sudah menjamin kalau benar aku baik-baik saja. Tapi dia bersikukuh mengatakan jika aku sakit.
"Aku hanya kedinginan, Rell, itu saja," dengan segenap kekuatan yang entah aku ambil darimana, aku menggapai tangan Darrell untuk menurunkannya yang sampai saat ini masih ada di keningku. Kalimatku membuat senyum tulus Darrell mengembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)
Romance"Aku terlalu mencintainya hingga mengatakannya saja sudah sangat sulit sekali," itu yang dikatakan Darrell padaku dan ketika itu aku berusaha menutupi perasaanku darinya. Dilihat dari penampilan, aku, adalah seorang perempuan mandiri, dingin, dan se...