Ranya
Sakti mengerjakan album gue seolah-olah nggak ada hari esok. Gue sampai harus tertatih-tatih mengikuti pola kerjanya selama sebulan terakhir. Dia memang selalu maksimal selama mengerjakan album gue, tapi akhir-akhir ini kelihatan banget Sakti memforsir dirinya.
Gue menaruh sepiring waffle dan secangkir kopi susu di hadapan Sakti yang sedang sibuk dengan laptopnya. Malam ini kami berada di Geometri karena cowok itu bosan mendekam di studio untuk menyelesaikan album gue. Lagipula, rekaman dan segala macamnya yang dilakukan di studio Anchorbolt sudah selesai. Tersisa beberapa hal yang perlu Sakti selesaikan sebelum album gue meluncur ke publik.
"Istirahat dulu." Gue menyentuh pundaknya.
Sakti hanya mengangguk pelan tanpa melihat ke arah gue. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard. Kedua matanya memerah dan punggungnya sudah melengkung tanda dia lelah. Tapi kelihatannya Sakti belum mau berhenti.
"Stop," kata gue lagi, lebih berupa perintah tegas.
Sakti mengangkat pandangannya. "Apa?"
"Berhenti, dong! Dari tadi lo sibuk sama laptop. Besok lagi kan bisa."
"Enggak, harus selesai malam ini. Kalau dikerjain besok lagi, timeline rilis album lo jadi ikut molor."
"Sakti--"
"Biarin gue kerja ya, Nya?"
"Istirahat, Sakti."
Sakti mengembuskan napas keras lalu menurunkan layar laptopnya dan melirik waffle dan kopi susu yang sudah mulai hilang aromanya. Ia menyendok waffle dan mengunyahnya pelan. "Makasih ya, Nya," gumamnya.
"Sama-sama," balas gue tersenyum. "Lo baik-baik aja, kan? "
Sakti terlebih dahulu meneguk kopi susunya sebelum mengedikkan bahu. "Nggak tahu gue."
"Kok nggak tahu?"
"Kalau gue lagi hiatus dari semua kegiatan Anchorbolt, menurut lo itu baik-baik aja atau enggak?"
"Hah?" Gue nggak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Sakti hiatus dari Anchorbolt? Nggak mungkin. "M-maksudnya hiatus tuh gimana?"
"Ya hiatus. Gue absen sementara dari semua kegiatan band gue entah sampai kapan," jawab Sakti acuh tak acuh. "Lagian gue bosen sama mereka."
Gue menatapnya sungguh-sungguh. "Lo serius, Sak? Ini bukan karena lo ngerjain album gue, kan?"
"Justru itu alasan utamanya. Gue mau fokus ngerjain album lo, Ranya. Gue pengin ngelakuin apapun untuk pacar gue sendiri tanpa terbebani kerjaan lain."
Gue terperangah mendengar jawabannya. Sakti menunjukkan sisi yang selama ini gue ragukan, yakni dia ternyata berdedikasi pada hubungan kami baik secara personal maupun pekerjaan. Bahkan gue nggak menyangka dia memutuskan untuk hiatus dari band yang sudah membesarkan namanya. Apakah ini artinya posisi gue sudah berada di atas segala-galanya bagi Sakti? Kalau memang benar, keputusan ini membuat perasaan gue jauh lebih membaik. Iya, gue sempat down parah setelah ketemu Ceye waktu itu. Jelas banget, cowok nyebelin itu nggak suka dengan keberadaan gue.
"Tapi nggak apa-apa kan lo hiatus dari Anchorbolt?" tanya gue memastikan.
Sakti memijat keningnya dan sedikit mengambil jeda untuk menjawab. "Nggak apa-apa. Lagian sampai sekarang, Anchorbolt belum memfasilitasi apa yang gue mau. Dengan ngerjain album lo, gue akhirnya dapet pengakuan untuk passion musik gue, Nya. Itu lebih dari cukup."
Jantung gue melompat-lompat senang mendengarnya. Gue senang bisa menjadi bagian dari 'fasilitas' yang dibutuhkan Sakti untuk berkembang dan untuk menggali bakatnya lebih dalam lagi. Coba kalau nggak pernah ketemu gue, mungkin sampai sekarang cowok itu masih terjebak kebingungan harus mengembangkan hobi bermusiknya ke arah mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikraluna
Teen FictionRanya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...