Ranya
Sakti
***
Ranya
Tangan gue berkeringat. Genggaman gue pada gagang gitar licin, sementara jemari gue yang memetik senar bergetar. Kedua kaki gue juga mulai enggak bisa menopang tubuh dengan stabil.
Gue mual dan pusing.
Gue memutar badan ke belakang, ke arah tiga cowok yang sekarang menatap gue khawatir. Ya jelas mereka khawatir. Usai lagu yang barusan gue mainkan, gue justru diam dulu. Ratusan penonton di hadapan gue ikut diam, mungkin penasaran kenapa gue enggak langsung masuk ke lagu terakhir.
Gue... nggak bisa. Gue grogi parah.
"Nya?" Seorang cowok yang memegang bass memanggil gue.
Gue mengangguk singkat untuk memberi sinyal pada cowok itu dan dua cowok lainnya bahwa gue baik-baik saja. Yah, semoga.
Satu lagu lagi, Ranya. Lo harus hajar sampai kelar, gue merapalkan mantra ini sambil memohon diberikan kekuatan untuk menyelesaikan panggung besar pertama gue.
"Lagu terakhir..." Gue berbicara di mikrofon sambil memandang lautan manusia yang masih fokus pada gue enggak peduli gue sudah gemetar. "Lagu terakhir ini justru lagu yang pertama gue buat untuk album ini."
Gue menarik napas dalam lalu memetik beberapa senar. Ada sedikit off pada cara nyanyi gue. Kalau gue ada di panggung Indonesian Idol, gue sudah pasti dikomentari habis-habisan oleh Anang Hermansyah. Tapi kelihatannya penonton enggak sadar gue agak kurang pede. Buktinya mereka kelihatan menikmati lagu gue. Bahkan meski mual dan pusing, sempat-sempatnya gue berinteraksi ke penonton walaupun kaku banget.
Dan begitulah lagu terakhir gue dimainkan.
Gue enggak peduli apakah reaksi grogi gue kelihatan. Gue juga enggak peduli apakah jeda yang gue ambil untuk menenangkan diri jadi kelihatan aneh di mata penonton. Gue sama sekali enggak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikraluna
Teen FictionRanya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...