Ikraluna-7

1.1K 232 108
                                    

Ranya

Gue berderap turun panggung dengan perasaan nggak keruan. Kata-kata Sakti menusuk telinga gue sampai-sampai yang ingin gue lakukan sekarang adalah menutup pendengaran dari semua suara. Gue ingin cepat-cepat hilang dari sini, hilang dari pandangan Sakti, dari pandangan Anchorbolt, dari semua orang.

"Kenapa, Nya?" Salah satu kru Anchorbolt menghampiri gue. Mungkin heran dan terkejut kenapa gue turun panggung kayak orang kesurupan.

Beberapa kru juga memandang gue. Tapi gue mengabaikan mereka dengan membereskan barang-barang gue dan mengenakan jaket.

"Gue balik duluan, ya."

"Ke mana, Nya? Kok buru-buru?" Kru yang lainnya bertanya.

Dalam keadaan pikiran semrawut, gue berusaha menjawab dengan tenang. "Buru-buru. Ada urusan lain."

"Nya--"

"Kalau Sakti sama yang lainnya udah selesai, tolong pamitin, ya."

Tanpa menunggu jawaban mereka, gue pergi. Geometri adalah satu-satunya tempat yang ingin gue tuju saat ini. Ada sesuatu yang menarik gue untuk pergi ke sana sekarang juga. Mungkin karena gue terbiasa ada di sana. Mungkin karena di sanalah tempat ternyaman gue sebelum gue disibukkan dengan hal lain. Sebelum gue mengenal Sakti.

Begitu sampai di Geometri, gue langsung masuk ke area balik kasir tempat para barista menyiapkan kopi. Gue mengenakan apron bercetak 'Geometri' lalu mengambil alih beberapa pesanan yang tadinya hanya dikerjakan oleh tiga orang barista.

"Apaan nih dateng-dateng?" Salah seorang barista bertanya sambil setengah tertawa.

Gue nggak menjawab, sengaja pura-pura fokus membaca kertas pesanan sebelum mulai membuat kopi.

"Bukannya kamu ada manggung sama Anchorbolt ya malem ini?" Giliran Mas Patra, barista senior sekaligus tangan kanan Papa, yang bertanya.

Gue membuang napas. "Udah selesai."

"Terus? Sakti mana? Yang lainnya mana?"

"Masih manggung."

"Hah?"

Gue memilih mendiamkan kebingungan Mas Patra dan mulai meracik kopi. Tapi sekeras apapun gue berusaha mendistraksi pikiran, ujung-ujungnya suara Sakti berdengung lagi di telinga gue. Bisa-bisanya dia memanfaatkan jeda antar lagu untuk... entahlah, gue nggak tahu pernyataan macam itu.

Gue merasa ratusan telinga bisa mendengar apa yang Sakti katakan waktu itu. Walaupun gue tahu, kata-kata itu hanya mengalir antara kami berdua. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah gue tersandung, ditahan oleh Sakti supaya nggak jatuh ke belakang, membuat Ceye dan Dewa menoleh, membuat penonton saling sikut dan menimbulkan kegaduhan, membuat raut Faiq berubah penasaran, dan pada akhirnya gue sadar sudah sebanyak ini perhatian orang-orang pada gue dan Sakti.

Gue sudah dilihat sebanyak ini.

Gue, dengan sangat rendah hati, menghargai pernyataan Sakti. Gue nggak keberatan, nggak menyalahkan dia juga. Tapi kalau itu artinya dia membutuhkan jawaban 'iya', gue belum siap. Khayalan-khayalan tentang betapa menyenangkannya gue dan Sakti jika bisa lebih dari teman ternyata cuma ada di kepala gue, bukan untuk diwujudkan.

Lamunan gue buyar karena telepon dari Sakti tiba-tiba masuk.

Sakti bertanya gue di mana. Tanpa ragu, gue menjawab, "Kafe."

Kemudian telepon ditutup. Kemungkinan besar dia bakal ke sini, jadi gue berusaha menghimpun jutaan ton kekuatan supaya bisa bersikap kayak biasanya. Kenapa gue dengan mudah memberikan jawaban, itu karena gue nggak mau ada yang berubah diantara gue dan Sakti. Gue nggak biasa bohong ke dia selama ini.

IkralunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang