ikraluna - 2

2.3K 271 59
                                    

Ranya

Gue memainkan gelang hitam dengan bandul angka delapan yang melingkar di pergelangan tangan gue. Iya tahu, itu gelangnya Sakti yang entah kenapa bisa dipakai buat mengikat rambut gue. Kayaknya waktu gue muntah, deh. Habisnya cuma waktu itu doang gue di ambang pingsan dan enggak sadar apa yang terjadi.

Sekarang gue rasanya belum mau mengembalikan gelang tersebut. Nanti aja habis manggung. Gue pengin menjadikan gelang itu sebagai jimat. Siapa tahu gelang ini sakti juga kan sama kayak pemiliknya? Dan anehnya, Sakti juga enggak meminta gelang ini. Entah karena dia lupa atau gimana.

"Ranya tuh adalah sebuah kota di wilayah Kurdistan di Irak dan merupakan bagian dari Pemerintahan Sulaymaniyah. Ranya berdiri tahun 1789 pada akhir Kekaisaran Ottoman. Wah, Nona, lo tua."

Lamunan gue langsung buyar begitu ada suara gaib di belakang telinga gue. Sakti, pemilik suara gaib itu, berdiri di belakang gue sambil cengengesan.

"Ngapain lo?"

"Gue lagi baca asal mula nama lo di Wikipedia. Salah, ya?"

"Salah!"

"Yah, daripada lo ngelamun mulu, mending gue bacain asal-muasal nama lo."

Gue menarik napas. Gue masih enggak terbiasa dengan fakta bahwa Sakti yang pernah gue idolakan ternyata se-nggak jelas ini. Iya, iya, jujur gue dulu nge-fans sama dia. Tapi sekarang? Dih, enggak ada tuh jejak-jejak gue pernah nge-fans sama dia. Ternyata dia aneh.

"Di dalam kumpulan nama-nama bayi perempuan, Ranya artinya seorang gadis yang menyenangkan dan selalu membawa ceria pada orang-orang di sekitarnya." Sakti melanjutkan lagi. Sekarang bukan Wikipedia, tapi kumpulan nama-nama bayi perempuan.

Gue rasanya pengin jitak kepala Sakti karena pede dan sok tahu banget. Tapi sayangnya, tindakan dia benar. Gue memang butuh distraksi biar enggak grogi sebelum naik panggung.

"Eh, Sak," panggil gue sesaat sebelum siap-siap.

Sakti balik badan. "Iya, pokoknya gue siap apapun yang lo butuhin. Setlist nanti ada yang dituker, kan? Gue improve di closing, kan? Lo mau ngenalin kita-kita ke penonton, kan? Sip, udah gue catat semuanya di kepala," katanya dengan muka sok tahu.

"Salah semua," kata gue kesal.

"Lah terus apaan, dong?"

"Ya makanya dengerin gue dulu!"

"Iya, Nona. Kenapa? Hm? Ada apa?"

Gue mengembuskan napas keras sebelum menunjukkan gelang Sakti di pergelangan tangan gue. "Pinjem dulu, ya."

Sakti tersenyum. "Oh iya, gelang gue masih di lo, ya?"

"Iya. Gue pakai pas manggung, ya. Buat jimat."

Tawa Sakti meledak. Sial. "Jimat??? Astaga, lo pengabdi setan, ya?"

"Iya, setannya elu!" kata gue gusar. "Ya? Gue pinjem, ya?"

"Pakai aja."

Entah ini firasat gue atau Sakti kelihatan salting waktu gue bahas gelangnya dia. Aneh, deh.

Gue memandang gelang Sakti, terfokus pada bandul angka delapan. "Lo suka angka delapan?" tanya gue.

"Iya, suka."

"Kenapa?"

"Karena angka delapan nggak ada ujungnya, Nona," jawab Sakti sambil memantik rokoknya. "Udah, nggak usah dibahas. Ntar aja ngobrolnya."

"Gue grogi, Sak..."

Sakti berjalan melewati gue lalu menepuk bahu gue ringan sambil tersenyum. "Nggak usah nervous, Nona. Lo cantik."

IkralunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang