Sakti
Hari ini, Ranya akan memasak rice bowl andalan Geometri di rumah gue. Keseringan bercerita tentang betapa enaknya rice bowl buatan Ranya membuat kedua orang tua gue ingin mencicipinya langsung. Sebenarnya dari dulu gue sudah berniat mengajak mereka ke Geometri, tapi sampai sekarang belum sempat. Nah, daripada gagal terus, mending gue ajak langsung juru masaknya ke rumah.
Gue akan menjemput Ranya di rumahnya menggunakan mobil. Selain karena cewek itu akan membawa banyak bahan makanan, Nala juga ternyata ingin ikut. Dia sudah tahu kalau gue dan Ranya berpacaran. Reaksinya? Kalau nggak gue tahan waktu itu, dia bisa lari keliling rumah saking senangnya. Lalu setelah pengakuan itu, Nala meminta gue bercerita semuanya yang dengan senang hati gue kabulkan. Adik gue yang bawel itu berteriak kegirangan sebelum memberi petuah tiga jam lamanya tentang bagaimana caranya menghadapi perempuan yang baik dan benar.
"Kalau Kak Ranya ngeluh sakit perut gara-gara mens, itu tandanya sakit beneran. Jangan diremehin, dicuekkin, apalagi dituduh drama!" Entah mengapa, dari semua wejangan Nala, hal itu yang paling gue ingat dalam kepala. Mungkin karena selama ini gue nggak terlalu menaruh perhatian pada Nala tiap cewek itu lagi sakit perut menstruasi. Makanya ini kesempatan baginya juga untuk sekalian menasehati gue.
"Ranya suka banget film Tiga Hari untuk Selamanya, La. Kamu tahu nggak film itu?" Di mobil menuju rumah Ranya, gue mulai bercerita lagi. Semoga kuping Nala nggak panas mendengar gue menceritakan orang yang sama beberapa hari terakhir ini.
Nala menoleh dari layar handphone-nya. "Pernah denger, tapi nggak pernah nonton. Film apaan tuh?"
"Yang main Nicholas Saputra sama Adinia Wirasti. Filmnya simpel, isinya cuma mereka road trip dari Jakarta ke Jogja. Tapi obrolan mereka selama di mobil tuh berbobot banget, La. Ngomongin patriarki lah, kematian lah, proses pendewasaan diri lah, macem-macem. Ranya bahkan sampai hafal beberapa dialognya."
Nala terkikik lalu memasukkan handphone-nya ke dalam tas. "Terus, terus? Kak Ranya suka apa lagi?"
"Ranya suka..." Gue mengingat-ingat. "Dia suka banget Banda Neira! Waktu Banda Neira bubar dan dia baca surat Ananda Badudu tentang kenapa duo itu bubar, dia nangis tiga hari tiga malam, La! Sampai sekarang dia masih nggak percaya Ananda Badudu dan Rara Sekar bisa pisah. Kocak nggak?"
"Demi apa? Hahaha Kak Ranya lucu banget! Terus apa lagi? Ayo dong cerita yang banyak biar aku punya bahan cerita sama dia!"
Sambil menyetir, gue nggak henti-hentinya berceloteh sambil tersenyum. "Ranya pengin hidup di tahun 50-an gara-gara suka banget sama film Asrama Dara, film pertamanya Suzanna. Suatu saat kalau dia punya kesempatan kerja di production house, dia bakal ngusulin film Asrama Dara di-remake."
Mulut Nala setengah terbuka. "Sumpah..."
"Sumpah apanya?"
"Sumpah, Kak Ranya adalah cewek terkeren yang pernah aku temui seumur hidup."
Gue mencemooh pernyataan hiperbolanya. "Kamu baru hidup delapan belas tahun, Nala Rindu Btari. Belum lama."
Nala memberengut lantas tertawa. Obrolan kami berlanjut masih seputar Ranya, seakan hari ini adalah hari milik dia. Adik gue juga kelihatannya antusias, buktinya dia mencatat beberapa informasi tentang Ranya di handphone-nya dengan alasan supaya nggak gagap berbicara kalau sewaktu-waktu mereka harus mengobrol berdua.
Sampai di rumah Ranya, ternyata cewek itu sudah menunggu di teras. Barang bawaannya ternyata nggak banyak. Dia pun kaget bisa-bisanya gue datang pakai mobil. Mengajak Nala, pula.
"Nala pengin ikut, Nya," kata gue sambil menggaruk tengkuk, takut Ranya jadi risih atau apa.
Ranya tersenyum pada gue juga pada Nala yang masih berada di dalam mobil. "Nggak apa-apa. Justru gue nggak enak pakai dijemput segala."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ikraluna
Teen FictionRanya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...