Ranya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sakti
Ada banyak kesalahan yang gue lakukan malam itu. Pertama gue mabuk walaupun nggak mabuk-mabuk amat, kedua gue bawa mobil ke acaranya Ranya, ketiga gue nggak bisa menahan diri, keempat, kelima, keenam, dan seterusnya gue nggak punya otak.
Gue sebenarnya sudah tergugah sejak Ranya masih on stage. Entah karena kostum yang dia pakai, pembawaan dia ketika menyanyi, atau lagunya, pokoknya ada bagian dalam diri gue yang mendorong gue untuk melakukan sesuatu. Tapi gue nggak tahu apa itu dan bagaimana memulainya. Bahkan ketika secara setengah sadar gue mendengar teman-teman Bang Nugrah menggoda Ranya sambil setengah mabuk, gue belum menemukan apa yang ingin gue lakukan waktu itu.
Sampai akhirnya gue mengajak Ranya pulang duluan karena takut keburu mabuk berat kalau gue lanjut di sana. Prakiraan gue salah, ternyata gue nggak bisa langsung membawa mobil keluar dari area parkir. Tenggorokan gue panas dan kepala gue berkunang-kunang. Gue nggak sekuat Ceye atau Faiq kalau minum, tapi gue malah memaksakan.
Gue bisa merasakan tatapan intens Ranya, membangunkan gejolak yang dari tadi gue tahan-tahan. Sosok Ranya seakan melarang gue untuk melakukan hal lain kecuali menjadikan dia sebagai objek perhatian. Gue belum pernah melihat Ranya secantik dan semenarik ini. Dia memang nggak melakukan apa-apa, tapi ketenangan dalam tatapannya semakin menarik gue mendekat.
Singkat cerita, gue dikuasai ambisi untuk membuat Ranya nggak bisa berkutik. Iya, gue salah besar. Tapi apa yang bisa gue harapkan ketika keadaan nggak memberi gue ruang kecuali memusatkan perhatian pada Ranya? Lalu gue malah keterusan. Euforianya meledak-ledak tanpa henti seperti kembang api tahun baru, apalagi ketika gue menyingkap dress-nya dan mendengar pekikan tertahannya.
Keesokan harinya, tidur gue sepanjang hari dibangunkan oleh teriakan Nala yang menyuruh menjemput Ranya untuk makan malam bersama di rumah. Bayangkan betapa paniknya gue. Rasanya gue pengin menghilangkan hari kemarin dan langsung lompat ke hari ini biar gue nggak pernah melakukan hal bego. Apalagi gue belum berkomunikasi lagi dengan Ranya hari ini. Masa tiba-tiba gue ajak ke rumah kayak, "Hai, Nya, sori kemarin gue ngelakuin hal yang iya-iya ke lo. Malam ini mau nggak lo makan malam di rumah dan ketemu ortu gue lagi?" Monyet, stres gue.
Tapi pada akhirnya gue mendapati diri ini menunggu Ranya keluar dari rumahnya sambil mencengkeram stang Tono erat-erat. Nah, waktu Ranya muncul dari balik pintu rumahnya, gue rasanya pengin terjun dari pucuk Gedung Sate.
"H-hai, Nya." Gue menyapa dengan suara mirip kucing kejepit.
Ranya tersenyum. "Hai."
"Udah enakan?"
Pertanyaan bodoh bin goblok, Sakti! Udah enakan kenapa, woy?!
"Kayaknya agak mendung, semoga nggak hujan, ya." Oh, syukurlah Ranya mengalihkan pembicaraan. Terima kasih, Tuhan. Yang kemarin dicatat dosanya juga nggak apa-apa deh asalkan hari ini gue dan Ranya nggak awkward.