Ikraluna-10

1K 167 23
                                    

Sakti

Masih terekam dengan jelas gimana pertemuan pertama gue dan Ranya. Waktu itu Ranya nggak ngajak teman-temannya, alias kami ketemuan cuma berdua. Berani banget nggak tuh? Padahal gue kira dia bakal bawa pasukan untuk mengurangi kecanggungan pertemuan kami. Tapi ternyata boro-boro canggung, gue justru merasa kayak ketemu teman lama.

"Ranya."

"Sakti."

Highlight pink di rambut dia langsung menjadi perhatian gue. Tapi itu hanya bagian kecil dari menariknya penampilan cewek bernama Ranya Kaluna ini. Dia pakai bandana bunga-bunga dan dress hitam selutut beserta sepasang Doc Marten. Lipsticknya warna merah tua hampir hitam. Gue hampir mengira dia adalah dukun atau siapa kek yang datang ke kafe untuk menyantet orang.

"Lo baru sampai, ya?" tanya cewek itu. Belum sempat gue menjawab, dia melanjutkan. "Tadi gue lihat di meja lo belum ada minuman, jadi gue pesenin sekalian. Nggak apa-apa? Caramel Macchiato?"

"Wah, thanks ya, udah dipesenin," balas gue sok asyik walaupun terheran-heran. Baik juga nih cewek yang mengingatkan gue pada Nymphadora Tonks di Harry Potter.

Ranya menarik kursi di depan gue. "Enaknya kita ngobrol dulu atau...?"

"Langsung aja. Butuh bassist gimana, nih?"

Ranya tersenyum berseri-seri sebelum mulai menjelaskan. Suaranya enak didengar. Tempo berbicarannya sedang dengan intonasi yang bervariasi. Ada sedikit warna ketus dan tajam dalam nada bicaranya. Tapi selebihnya, gue terpana mendengar dia berbicara.

"Tapi gue nggak bisa kasih lo fee banyak. Gue masih baru."

"Nggak apa-apa, Nona." Itulah pertama kalinya gue memanggil dia Nona. Beberapa teman cewek memang gue panggil dengan sapaan yang sama. Tapi entah kenapa, Ranya yang paling cocok. "Nggak usah dulu juga nggak apa-apa. Gue pure pengin bantu lo."

"Oh ya? Beneran?"

"Gue udah denger beberapa lagu bikinan lo waktu masih pakai ukulele. Lo ada bakat, Non."

"Serius? Wah, makasih, ya."

"Emang sayang sih kalau cuma main ukulele. Lo harus dikasih full set biar genre lo berkembang. Lo mau format solo, kan? Nyanyi doang atau pakai gitar? Bagusnya sih pakai gitar, terus--"

Ranya melongo. Oh ya lupa, gue kelepasan ngatur dia. "Hehehe, kelewat semangat ya gue."

Cewek itu menggeleng dan tersenyum lagi. "Nggak ada yang seantusias lo sebelumnya."

Gue tertegun. Ada satu hal yang langsung meyakinkan gue bahwa Ranya datang di waktu dan keadaan yang tepat. Gue nggak mau langsung lompat ke kesimpulan, tapi cewek ini adalah apa yang gue cari-cari untuk mengisi kejenuhan gue bermusik di Anchorbolt. "Lo main genre apa?" tanya gue.

"Hmm, lo mau denger demo lagu gue nggak?" Ranya bertanya balik.

"Boleh, Non."

Ternyata dari hanya mendengarkan demo lagu-lagu buatannya, gue jadi tahu banyak tentang Ranya. Panutan bernyanyinya adalah Elda vokalis Stars & Rabbit, band favoritnya adalah Camera Obscura dan Club 8, serta dia pengin banget merasakan skena indie Bandung di awal tahun 2000an. Asyik juga walaupun referensinya kebanyakan jadul.

"Gue pengin banget balik ke tahun 2000an dan masuk FFWD Records. Debut bareng Mocca," kata Ranya dengan senyum yang nggak bisa gue jelaskan. Kelihatan kalau ngobrol tentang musik membuatnya senang.

Kekaguman Ranya pada FFWD Records dan semangatnya yang berapi-api setiap menceritakan milestone indie di Bandung cukup membuat gue takjub. Siapa yang nggak tahu label rekaman bernama FFWD Records yang menjadi mesin utama pergerakan musik independen di Bandung di awal tahun 2000an? FFWD Records yang menjadi rumah untuk Mocca, The S.I.G.I.T, Homogenic, dan sejumlah band tenar lainnya juga adalah panutan untuk kami, para musisi generasi sekarang, untuk nggak lelah menghidupkan skena ini.

IkralunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang