Ikraluna-14

703 110 62
                                    

Sakti

"Gue bikin tato singkatan nama kita berdua."

Ranya muncul dan menunjukkan lengan di area lipatan sikunya. Dia menghampiri gue di sebuah kafe saat sebenarnya gue nggak mau diganggu karena lagi sibuk mengerjakan sesuatu. Tapi gue nggak tega, jadi gue sebut saja di mana gue berada saat ini. 

Gue menatap tato itu, mempelajarinya. "Ikraluna? Artinya?"

"Tadinya gue mau bikin singkatan nama kita berdua yang diambil dari Sakti dan Ranya. Tapi setelah gue pikir-pikir, Ikraluna bagus juga. Nama lo kan Sakti Ikrar Nusantara, gue ambil bagian 'Ikrar'nya. Sedangkan nama gue Ranya Kaluna, gue ambil bagian 'Kaluna'. Jadi Ikraluna, deh," jelas Ranya dengan mata berbinar-binar. "Bagus nggak? Lo suka nggak?"

Harusnya gue menyukainya. Harusnya gue tersentuh dengan bagaimana Ranya mengambil keputusan untuk membuat tato di lengannya. Tapi gue malah melontarkan sebuah pertanyaan, "kenapa lo bikin tato nama kita, Nya?"

Gue tahu pertanyaan itu salah ketika raut kecewa Ranya muncul. "Salah, ya? Gue berlebihan ya, Sak?"

"Enggak, enggak, Nya--"

"Gue cuma pengin bikin sesuatu yang ngingetin gue ke hubungan kita, Sak. Nggak lebih. Apalagi buat pamer. Buktinya gue taruh di lengan bagian dalam."

"Iya, Ranya, iya." Gue mengusap-usap tatonya. "Gue cuma tanya. Nggak apa-apa kalau lo pengin bikin tato."

"Nggak apa-apa kan, Sak?"

"Iya, nggak apa-apa."

Ranya membuang napas lega. Detik berikutnya, cewek itu mengeluarkan handphone dan mengangkat lengannya yang bertato tersebut. Lalu diangkatnya lengan tersebut menghadap wajah gue. 

"Jangan menghindar! Gue mau foto," suruh Ranya sambil mengarahkan hanpdhone-nya ke lengan yang sekaligus juga ke arah gue. 

Gue bergerak-gerak nggak nyaman. Semakin banyak hal-hal yang gue pandang aneh dari Ranya dan semakin sulit juga untuk menolerirnya. Setelah seminggu lalu dia menampar gue, keesokan harinya dia mengirim makanan ke rumah gue selama tiga hari berturut-turut. Nggak pernah ada kata maaf secara resmi. Gue pun dengan sukarela bersikap biasa-biasa saja padanya. 

Seminggu terakhir pula, gue dan Ceye belum membicarakan lagi soal Ranya yang meneleponnya berkali-kali. Gue tahu apa isi kepala Ceye; dia menganggap Ranya posesif. Jauh sebelum itu, gue pun sudah menyadarinya. Tapi sekarang rekan band gue sendiri tahu bahwa Ranya posesif, dan menurut gue itu ganggu banget. 

Mau Ranya posesif atau enggak, itu urusan gue. Makanya sampai sekarang gue masih malas membuka topik tersebut dengan Ceye. Lagian cuma gue yang telah mengenal Ranya sejauh ini, cuma gue yang bisa mengubah dia. Dan sampai sekarang sih, cuma Ranya yang gue yakini bisa menerima gue seutuhnya tanpa syarat apapun. 

"Lo juga bikin dong, Sak!" suara Ranya membuyarkan lamunan gue. 

"Bikin apa?" 

"Tato lah!"

Gue terperangah, tapi pura-pura menanggapinya dengan tenang. "Hahahah, sakit, Nya. Gue ntar nangis-nangis."

"Nggak sakit, kok!" Ranya tertawa. "Kayak digigit semut tapi berkali-kali. Habis itu udah deh, tinggal nunggu sampai kulit lo terbiasa. Yah... merah-merah sedikit, sih."

Gue baru mangap untuk membalas, Ranya sudah menyambar lagi. "Bikin ya, Sak? Please, please, please? Nggak harus Ikraluna, tapi pokoknya singkatan nama kita berdua."

Kalau ditanya apakah gue akan membuat tato juga kayak Ranya, gue masih belum tahu. Kepikiran saja enggak. Menurut gue, tato adalah manifestasi perasaan yang diwujudkan setelah kita benar-benar yakin dengan sesuatu atau seseorang. Karena tato tersebut akan berada di kulit kita untuk selama-lamanya, menjadi hal yang akan selalu kita lihat setiap detik.

IkralunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang