Ikraluna-11

1.1K 165 35
                                    

Sakti

Gue mengetuk kamar Nala tiga kali, tapi nggak ada sahutan dari dalam. Kalau sudah begini, biasanya dia lagi pakai headset. Karena pintu kamar masih tertutup rapat, gue pun masuk ke kamarnya.

Tuh kan, benar. Nala lagi membaca buku dengan telinga disumpal headset. Waktu gue muncul di hadapannya, tampangnya kaget banget kayak habis lihat setan. Hih! Ganteng begini disangka setan.

"Kok nggak ketuk pintu?!" Nala melotot kesal.

Gue menarik kursi belajar. "Udah dari sejam lalu aku ngetuk-ngetuk kamar kamu."

"Serius?! Yah, maaf Aa', nggak kedengeran."

"Bercanda." Gue tertawa melihat muka paniknya. "Makanya kalau pakai headset tuh jangan kenceng-kenceng. Mana pintu kamar ditutup, lagi. Dasar ABG."

"Iya, iya. Ada apa? Mau nyuruh aku ke minimarket? Enggak, enggak. Big no! Aku lagi nggak mau diganggu."

"Yeee, enggak. Aku ke sini mau ngobrol."

"Ngobrol apa?"

"Soal Ranya."

Ekspresi Nala berubah cerah dan matanya berbinar-binar. Buku yang dipegangnya langsung didorong ke bawah bantal sebelum dia menatap gue dengan penasaran. Dari awal gue cerita tentang Ranya, Nala memang sudah antusias seolah-olah Ranya adalah sosok panutan yang dicarinya selama ini. Tapi gue nggak menyangka apapun tentang Ranya bakal membuat adik menggebu-gebu.

"Kakak cantik aku kenapa?" tanya Nala.

"Kakak cantik?!"

"Ranya kan kakak cantiknya Nala. Panutan Nala. Idola Nala," kata Nala sesumbar. "Aku udah cerita belum sih kalau beberapa temen indie aku iri karena aku punya foto sama Kak Ranya? Belum, ya? Masa mereka minta dikenalin ke Kak Ranya? Hahaha, lucu banget! Ya aku bilang aja ke mereka kalau kakak aku pacaran sama Ranya. Terus mereka makin kaget. Ternyata banyak yang belum tahu kalau aku adiknya Aa'! Hahaha lucu, ya?"

Gue mangap lebar. Nala ceriwis, gue tahu. Tapi sejak kapan Ranya jadi bahan ceriwisnya dia juga? Parah, adik gue kayaknya benar-benar kena pesona Ranya.

Oke, kembali ke topik. Obrolan gue dan Nala bisa jadi berjam-jam kalau gue meladeni dia. "Aku mau ngasih sesuatu buat Ranya. Enaknya apa ya, La?"

"Biasanya apa?"

"Belum pernah."

"Belum pernah, ya..." Nala mengangguk-angguk, tapi detik berikutnya matanya melebar. "HAH?! BELUM PERNAH? Haduh, minim pengalaman banget sih Aa' Sakti!"

Wah, gue selalu jadi cowok cupu dan bego di depan Nala kalau soal cewek. "Nggak usah dibahas. Fokus! Enaknya aku ngasih apa ke Ranya? Hadiah lucu-lucu gitu yang kayak dari Strawberry atau apa tuh... Miniso?"

Nala menepuk jidatnya sendiri. "Kak Ranya jangan dikasih hadiah lucu-lucu, Kakakku Sayang. Nih, ya..."

Selagi Nala mendaftar hadiah apa yang bisa gue berikan pada Ranya, gue malah larut dalam lamunan. Sudah hampir seminggu berlalu sejak cewek itu menginap di studio. Terakhir gue telepon, Ranya bilang dia sudah nggak kenapa-napa. Hubungan dengan papanya sudah kembali seperti semula. Maksudnya kembali seperti semula ya saling diam, bukannya langsung normal layaknya hubungan ayah dan anak lainnya. Tapi syukurlah, gue lebih lega dengan keadaan kayak gitu daripada Ranya bertengkar lagi dengan papanya. Kasihan. Padahal Ranya cuma ingin hidup tenang tanpa diusik papanya.

Nah, rencananya besok lusa gue mau jemput Ranya di kampus. Habis itu kami akan ada meeting dengan sebuah label. Sepulang dari meeting, barulah gue akan ngasih Ranya hadiah. Pokoknya besok gue mau bikin dia senang. Bisa meledak gue saking nggak sabar ketemu dia.

IkralunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang