Sakti
Kedatangan gue di Kafe Garage Room disambut oleh kedua orang yang memang sudah janjian dengan gue, Rinal dan Ande. Tapi ternyata ada satu orang lagi yang menyambut dan tersenyum paling lebar begitu gue sampai di meja mereka.
"Nona???" Gue mengajak orang tersebut tos.
Senyumnya yang tadinya selebar lapangan basket jadi berubah cemberut kesal. "Nama gue Ranya! Apaan sih, Nona, Nona?!"
"Hahaha, sori. Eh, kok lo..."
"Gue gabung nggak apa-apa, kan?"
"Jadi tadi Ranya ngajak gue ketemuan, Sak. Ya gue bilang aja malem ini gue ada janji sama lo dan Ande. Dia ikut, deh." Rinal menjelaskan dan langsung mendapat jentikan jari setuju dari Ranya.
Gue nggak sempat melongo karena Ranya langsung menarik tangan gue untuk duduk di sampingnya. Seketika pandangan gue tertuju pada ujung rambutnya yang nggak berwarna pirang lagi, melainkan pink.
"Lo ganti warna rambut lagi, Nya?" Mulut gue gatal untuk nggak bertanya.
Ranya mengibaskan rambutnya dengan sombong. "Iya, dong. Bosen pirang, nih. Jadi gue highlight pink. Bagus nggak?"
Gue mengamati rambutnya yang memang jadi lebih lucu warnanya. Belum sampai setahun kenal Ranya, gue sudah melihat dia gonta-ganti warna highlight rambut. Dulu hijau lumut, kemudian pirang, sekarang pink. Mana panjang rambut dia nggak pernah melebihi bahu, jadi gue selalu bisa melihat tiga tindikan di masing-masing telinga dia.
"Kayak anak ayam lo, Nya, warna-warni!" kata Ande sambil tertawa.
"Lo kayak baru tahu aja gue suka gonta-ganti warna rambut!" balas Ranya lalu beralih pada gue lagi. "Gimana, Sak? Lucu nggak?"
Gue tertawa. "Lucu, lucu. Kalau rambut lo hitam semua, baru gue heran."
Sama herannya gue kalau Ranya melepas kalung dengan liontin cincin yang selalu bertengger di lehernya. Sama herannya gue kalau Ranya tampil tanpa menggenjreng gitarnya. Tanpa sadar gue jadi menandai beberapa hal yang terlihat pas pada seorang Ranya Kaluna.
Sejak didaulat menjadi bassist-nya Ranya, gue memang jadi lebih sering main bareng Rinal dan Ande. Tapi baru sekali ini Ranya gabung. Mungkin dari dulu cewek itu sering nongkrong bareng Rinal dan Ande, tapi gue nggak tahu karena gue pendatang di lingkarang pertemanan ini.
Gue memperhatikan betapa Ranya kelihatan menikmati berada di tengah-tengah obrolan kayak gini. Social butterfly banget. Mau ke cewek atau ke cowok, Ranya selalu asyik.
Tapi sayangnya, Ranya pamit pulang duluan. Dia menyebut-nyebut 'Papa' saat berpamitan. Gue melontarkan bercandaan untuk menahannya supaya nggak pulang. Sebaliknya, Rinal dan Ande malah menyuruh cewek itu cepat-cepat pulang.
Gue masih mengernyit heran saat Rinal menepuk pundak gue dan tertawa singkat. "Kenapa, Sak? Aneh lihat Ranya balik duluan?"
"Hahaha, dicariin ortunya kali, ya?" tebak gue garing.
Rinal menggeleng. "Paling bantuin di kafe."
"Kafe?"
"Kafe punya dia sama bapaknya. Jam segini lagi rame nih pasti."
Gue melihat jam tangan lalu kernyitan gue semakin dalam. Kafe ramai jam dua belas malam?
"Lo belum tahu, ya? Ranya punya kafe, Sak. Bukanya dari malem sampai pagi. Nah, biasanya jam segini lagi rame-ramenya. Palingan sekarang tuh cewek disuruh bantu-bantu di sana, makanya buru-buru balik."
Gue menyerap informasi ini sambil menerka-nerka kenapa Ranya nggak pernah cerita. Mungkin karena dia baru kenal gue kali, ya? Lagian gue juga nggak pernah bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikraluna
Teen FictionRanya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...