Ranya
Gue nggak percaya dengan penglihatan gue sendiri saat melihat empat orang cowok berdiri kebingungan di depan pintu masuk Geometri.
"Anchorbolt..." Akhirnya tiga suku kata itu keluar dari bibir gue setelah beberapa detik gue bengong.
"Nona!" Siapa lagi yang memanggil gue 'nona' kalau bukan Sakti? Cowok itu melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Kemudian Sakti mengajak ketiga cowok lainnya menghampiri gue. Mereka heboh banget sampai-sampai membuat seisi kafe menjadikan kami pusat perhatian. Ya iyalah, empat orang cowok datang-datang heboh. Plus, kedatangan mereka dramatis banget kayak F4 di drama Korea Boys Before Flowers.
"Kirain lo nggak ke sini, Nya. Gue cariin, hehehe."
Gue hanya membalas kata-kata Sakti dengan senyuman singkat sebelum melemparkan tatapan heran pada Faiq, Ceye, dan Dewa. "Kok kalian...?"
"Biasa, jam-jamnya laper." Sakti nyengir sebelum mencari tempat duduk.
Gue melirik jam tangan. Jam 11 malam. Astaga, gue nggak percaya kalau akhirnya Anchorbolt datang ke Geometri. Yang ngajak pasti Sakti. Tuh, sekarang cowok itu sibuk menyuruh anak-anak Anchorbolt lain untuk melihat-lihat menu.
"Makanan yang paling enak di sini apa, Nya?" tanya Ceye.
"Hah?" Gue sempat bengong lagi. "Oh! Ngg... apa, ya? Rice bowl-nya lumayan, waffle-nya juga lumayan. Atau kalau buat barengan, kalian bisa pesen platter--"
"Pesen aja semuanya, jangan kayak orang susah," celetuk Sakti.
"Oh iya, kan lo yang traktir?" kata Faiq.
"Heh anak pejabat, yang bener aja lo!"
Gue membiarkan empat cowok ini saling melempar celetukan selagi memesan. Ketika mereka menyerahkan kertas menu, gue takjub karena mereka memesan banyak makanan. Nggak tahu deh bakal habis di sini atau dibawa pulang.
"Sak," panggil gue saat Sakti mengekori gue ke kasir.
"Iya, sama-sama," balas Sakti ringan.
"Bukan-- oke, makasih. Ngg... bilangin ke temen-temen lo, gue yang traktir, ya? Nggak enak gue."
"Hah? Ngomong apaan, sih? Nggak denger."
"Sak, serius!"
Sakti berdecak dan menggeleng-geleng. "Kayak apaan aja, Non. Udah, nggak usah."
"Tapi--"
"Paling-paling Faiq yang bayar. Kita semua udah biasa malak anak pejabat."
"Jadi Faiq anak pejabat beneran?" Gue juga bingung kenapa yang gue konfirmasi malah hal ini.
Sakti ngakak. "Iya. Ceye juga tajir, tuh. Bapaknya pengusaha. Biasanya dua orang itu yang jadi uang kas Anchorbolt."
Mau nggak mau gue tersenyum. Sedikit heran bagaimana Sakti bisa membelokkan urusan bayar makanan ini ke cerita mengenai teman-temannya. Akhirnya gue menyudahi urusan bayar-membayar pesanan dan menyerahkannya semua ke Sakti.
Ketika pesanan sudah semuanya keluar dari dapur, gue bergabung dengan anak-anak Anchorbolt. Mereka ternyata nggak ada bedanya dengan cowok-cowok pada umumnya. Berisik, kalau makan berantakan, bercandaannya nggak ada akhlak, dan lain-lain. Padahal di panggung mereka gahar banget.
"Oooh, jadi kafe ini sengaja buka dari sore sampai subuh ya, Nya?" tanya Faiq sambil mencomot pisang goreng saus karamel, salah satu menu andalan Geometri.
Gue mengangguk. "Iya. Soalnya nggak banyak sih kafe yang buka 24 jam di Bandung."
"Bener!" Ceye menggeplak meja. "Gue juga kalau tengah malem laper ujung-ujungnya ke McDonald's. Susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikraluna
Teen FictionRanya, solois indie yang baru memulai debutnya mendaulat Sakti, bassist band Anchorbolt, untuk menjadi pengisi bass dalam setiap panggungnya. Lalu hubungan mereka berubah menjadi duri yang menjebak. Tidak ada jalan mundur. Bertahan meski berdarah, a...