Empat Belas

1.5K 234 3
                                    

Kalau ada typo, komen ya-!

Happy reading~

   "Mama ada apa?"

   "Mereka meyadari penyamaran kita."

   Pemuda Watanabe mengusak rambutnya kesal. Sebenarnya ada apa sih? Ia pun menolehkan kepalanya ke belakang dan tidak menemukan apapun. Lalu siapa yang ibu dan anak itu bahas?

   "Maaf... tapi kalian bahas apa?" Tanya Haruto.

   "Kau tidak bisa melihatnya, Haruto!" Ujar Nako. Perempuan itu terlihat cemas dan sesekali menatap sang Mama yang sedang fokus menyetir. Wanita itu sama cemasnya dengan Nako.

   "Kenapa kalian tidak mengatakannya secara langsung saja? Kepalaku ingin pecah saking bingungnya." Haruto hampir berteriak, tapi ia masih menghormati orang tua yang sedang fokus menyetir di depan.

   "Nanti aku jelaskan. Tapi Haruto, apa kau bawa kalung pemberian Ibumu?" Tanya Nako.

   Haruto meraba dadanya sendiri. Di sana terpasang sebuah kalung perak dengan bandul berbentuk sebuah lingkaran dengan ornamen bintang di dalamnya. Pemberian dari Ibunya, lima tahun yang lalu. Dan Haruto tidak pernah melepaskannya, bahkan saat mandi sekalipun. Karena kata Ibu, Haruto akan aman jika tetap memakai kalung itu.

   "Iya, kenapa?"

   "Sini, berikan padaku. Kita sudah tidak memiliki banyak waktu lagi!"

   Dengan tergesa, untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Haruto melepaskan kalung yang selalu tersemat nyaman di lehernya. Lalu memberikan kalung itu pada Nako, yang langsung disambut olehnya.

   Haruto melebarkan matanya kala tak sengaja melihat cermin yang terletak di bagian depan mobil.

   Nampak bayangan sekelompok serigala tengah mengejar mereka. Ini sangat tidak masuk akal!

   "Haruto jangan perhatikan yang ada di belakang dan genggam tanganku sekarang. Mama juga, pegang tanganku," Ujarnya sembari mengulurkan kedua tanganya. Sejujurnya Haruto penasaran, apakah Nako tidak merasa mual karena menatap ke belakang terus? Namun segera dihapus pemikiran itu dan menerima uluran tangan Nako. Perempuan bertubuh kecil itu menghembuskan napasnya lalu menatap Haruto, "Jangan terkejut. Dan jangan pernah melepaskan tanganku. Kau boleh menutup mata jika tidak kuat, tapi jangan pernah lepas tanganku. Mengerti?"

   Haruto mengangguk.

   Nako menutup matanya dan menggumamkan sesuatu bersamaan dengan kecepatan mobil yang terasa semakin cepat. Haruto merasakan jantungnya berpacu dengan cepat.

   "Disperatada!"

   Tubuh Haruto terlonjak. Matanya seketika terpejam, tidak kuat. Rasanya, jiwanya seperti terpaksa ditarik keluar dan pergi entah kemana. Dirinya merasa ringan namun juga merasa mual. Dan itu sangat menyebalkan.

   Dengan tangan yang masih bertautan, tak lama kemudian dirinya merasa seperti dihempas di atas rerumputan. Haruto pun membuka matanya perlahan, dan menemukan hamparan langit biru di atasnya.

   Rasa mual telah hilang dan digantikan dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya, seperti habis dilempar kesana-kemari. Ia pun menoleh ke samping dan menemukan sepupunya yang masih terpejam. Haruto bangkit dan menepuk pelan pipi Nako. Namun perempuan itu tetap bergeming. "Hei? Nako? Bangun? Kau masih hidup, kan?"

   Panik merasukinya kala tidak ada tanda-tanda bahwa Nako akan terbangun. "Nako? Jangan bercanda. Ayolah, ini bukan saatnya bermain-main."

   "Diam, aku sedang tidur."

Half | Haruto × Jeongwoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang