11. Secercah Harapan

15 1 0
                                    

"Persiapkan proposal untuk konferensi pers tiga hari lagi. Saya tidak mau ada yang salah, bahkan kurang kata disetiap kalimatnya. Pastikan semua laporan yang tercantum didalam proposal tersebut, lengkap dan tidak kurang ataupun di lebih lebihkan. Paham!?!"

Aku mengangguk. Bu Vina selalu saja meninggikan suaranya ketika berbicara kepadaku. Entah alasannya apa, bu Vina benar-benar seperti tidak menganggapku sebagai teman sekretaris, pegawai kantor seperti dirinya—bahkan sebagai orang yang lebih muda, yang aku sendiri memang musti belajar banyak dari dirinya itu.

"Baik bu, saya sangat usahakan membuat proposalnya dengan baik dan lebih teliti lagi."

"Lagian saya heran dengan pak Hendra dan pak Kenzo. Kenapa cari karyawati modelnya kayak anak pungut begini? Tamatan apa sih memangnya?" bu Vina terus saja mengolok-olok diriku.

Perkataan yang membuat hatiku sakit disetiap detiknya, namun aku harus berusaha tegar dan menerimanya ucapannya dengan baik—bahwa bu Vina ini adalah seorang sekretaris dari pemilik perusahaan ini.

Mungkin, aku memang harus benar-benar banyak belajar dari bu Vina. Dia itu sekretaris handal. Yang aku dengar dari papah—maksudku, pak Hendra. Bu Vina sudah bekerja dengannya, sejak perusahaan ini dibutuhkan seorang sekretaris tetap sebagai tangan kanan khusus perusahaan.

Tanganku menyelipkan rambut kebelakang telinga. Menatap bu Vina yang asik membaca laporan harian yang aku buat, tubuhku berusaha untuk tetap diam agar rasa gugup ku tidak terlihat oleh dirinya. "Say-saya. Saya, tamatan SMA IPA, bu."

Bu Vina reflek berhenti membaca laporan, "Tamatan SMA? Jurusan IPA?" katanya yang begitu tidak percaya dengan kompetensi jurusan SMA ku dulu. "Iya bu," kataku yang menganggukkan kepala padanya.

"Ck. Pantes aja kamu nggak bisa buat laporan yang gampang banget kayak gini! Sekarang saya saranin," dia bangkit dari kursi yang lebih besar dari kursi milikku diruang kerja. "Lebih baik, kamu belajar lagi yang bener deh. Atau nggak, kamu bantu bantu aja orang tua kamu dirumah, kan lebih bagus tuh?"

Aku memejamkan mata ketika ucapan bu Vina semakin tidak pantas untuk aku dengar. Dari setiap kata yang terdengar oleh pendengaran ku, aku benar-benar sudah muak oleh ibu sekretaris yang terlalu berbangga diri seperti bu Vina ini.

"Bu Vina... dengan rasa hormat saya dengan bu Vina, ucapan bu Vina itu terlalu buruk lho bu, untuk saya pribadi. Tolong banget bu, kalau memang ibu tidak suka dengan saya, ibu boleh caci maki saya. Tapi tidak perlu membawa-bawa kedua orang tua saya begitu, bu."

"Lho kenapa? Anak kecil model kayak kamu ini, memang tidak pantes bekerja dengan sok berfisik untuk membantu orang tua. Lebih baik, kan saya ini menyarankan kamu juga, untuk membantu kedua orang tua kamu saja di rumah. Ucapan saya, ada benarnya juga kan?"

Aku sangat menahan diri untuk tidak terpancing emosi ditempat ini. Walaupun dengan terpaksa hati harus menerima setiap kata dari mulutnya, aku akan tutup telinga jika bu Vina mengekang jalan pekerjaanku seperti ini. Kalau dibalas dengan emosi, rasanya sia-sia juga—bahkan nantinya, tidak akan ada habisnya pula.

Jadi, dengan menghormati bu Vina sebagai sekretaris yang paling penting di perusahaan ini, aku menganggukkan kepala dan mengulas senyum kepadanya.

"Baik buruknya, enak atau tidaknya, itu semua tergantung ibu saja mau menilai diri saya seperti apa. Kalau ada apa-apa lagi, ibu bisa menghubungi saya. Kalau begitu, saya permisi dulu ya bu."

"KAMU ITU SEBENERNYA NGGAK PANTES MENGGANTIKAN ALMA SEBAGAI SEKRETARIS PAK KENZO! DENGAR ITU BAIK-BAIK, JUNIOR BARU!"

Bu Vina berteriak kepadaku. Langkahku sempat terhenti. Mendengar perkataan begitu buruk terhadap diriku, aku membalikan tubuh dan menundukkan setengah tubuhku untuk memberikan rasa hormat kepadanya. Setelah keluar dari ruang bu Vina, beberapa pasang mata melihatku ada yang tidak suka ada juga yang menebarkan senyumannya kepada diriku.

HARIAN JUNIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang