"Mamah mau ke rumah abang dulu ya sayang. Nggak papa kan?"
Aku menoleh, menatap mamah yang begitu sibuk dengan beberapa barang belanjaannya. "Iya nggak papa. Nanti juga Kenzo pulang kok. Mamah mau dianter siapa?"
"Mamah tadi pesen taksi. Kalau nanti, abang mau jemput didepan, soalnya mamah buru-buru untuk kerumah nenek. Katanya dia pengen banget lihat cucu mantunya."
"Oh yaudah... hati-hati ya mah."
Mamah menganggukkan kepala. Menghampiriku lalu mencium puncak kepala Arjuna—dan bergantian kepada pipiku. "Omah pergi dulu ya Juna. Kamu disini sama bunda Juni, jangan rewel yaaa. Byeee!"
Melambaikan tangan kepada mamah lalu dia pergi meninggalkan ruang tengah. Aku bersama dengan Arjuna kali ini. Kakak ipar Agatha menitipkan putranya tadi pagi sebelum bang Arkan berangkat kerja. Sudah lama tidak bertemu dengan Arjuna. Tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan, aku jadi tambah gemas karena tubuhnya semakin aku lihat, semakin gemuk saja.
Tidak pernah rewel ketika dia sudah dititipkan kepadaku. Dari bayi aku merawatnya dengan baik, dan sudah menganggapnya seperti putraku sendiri. Giginya sudah tumbuh dua didepan dan empat dibagian kanan-kiri. Sudah pandai bicara juga, ketika nama "mamah" bisa terucap walaupun tidak begitu jelas.
Awalnya aku menolak karena Arjuna datang tanpa mengirimkan pesan kepadaku dulu. Tapi aku kasihan karena kak Agatha begitu sibuk yang mengurus butik mamahnya, ketika pesanan pelanggan begitu banyak hari ini. Wajar saja kalau seorang istri dan ibu rumah tangga sibuknya bukan main, jika untuk mengurus suami dan anak sendirian begitu.
Aku bisa merasakannya, walaupun belum ada bayi ditengah-tengah keluarga kami. Tapi aku tidak gampang menyerah dengan begitu saja. Walaupun Kenzo masih acuh kepadaku, aku akan tetap melayaninya sebagai istri sah-nya.
"Abis Una makan, Una mandi ya sama tante. Nanti kita berenang di bak mandi. Iyaaa?" kataku yang mengajak Arjuna berbicara, ketika Arjuna sedang asik-asiknya bermain peralatan makan miliknya.
Baru selesai memberikan Arjuna jus buah naga yang begitu berantakan mulutnya serta baju yang dikenakannya. Dengan sangat hati-hati mengurus seorang bayi, aku membuka seluruh pakaian yang Arjuna pakai lalu menggendongnya untuk membawa ke kamar mandi.
Memandikan seorang bayi memang cukup merepotkan. Apalagi gerak-gerik Arjuna yang saat ini cukup terbilang tidak bisa diam, dan berputar ke segala arah. Jadi banyak membuang napas berkali-kali. Benar-benar butuh tenaga yang super ekstra.
Setelah cukup beberapa menit untuk membersihkan tubuh Arjuna dari kotoran dan sisa jus yang menempel, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega karena sudah selesai memandikan Arjuna. "Udah wangi deh keponakan tante. Ehhh... anak bunda yaaa? Hehehehe."
Kemudian, aku harus bertempur lagi untuk memakaikan Arjuna baju. Ini yang lebih tidak sabar ketika ingin dipakainya pampers, tapi malah kemana-mana. "Pakai minyak telon dulu, biar hangat. Abis ituuu, Una baru deh pakai bajunya. Diem-diem ya sayang."
Butuh waktu lima menit untuk memakaikan Arjuna baju dan menyemprotkan parfume bayi kepada tubuhnya. Setelah sudah selesai dan menyisir rambutnya, aku bisa bernapas lebih lega karena Arjuna mulai anteng dan merebahkan tubuhnya didekat tumpukan bantal.
"Bunda bikinin Una susu ya? Tunggu sebentar," bangkit dari tempat tidur, aku beranjak untuk membuatkan susu Arjuna dengan ekstra cepat. Karena tidak bisa diam, sambil menuangkan bubuk susu kedalam botol, mataku terus mengawasi pergerakan Arjuna yang takut jatuh kebawah tempat tidur.
Belum sempat menuangkan sedikit air panas kedalam botol, namun aku melihat Arjuna benar-benar ingin jatuh. Dengan sergap, aku membawa Arjuna kedalam gendongan ku. "Bunda lagi bikinin susu Arjuna. Kamu tungu sebentar dulu yaaa?" ingin menurunkan Arjuna, tetapi dia justru menangis begitu kencangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARIAN JUNIATHA
ChickLitSequel JUNI & JULI. Aku paham, kenapa bisa orang lain begitu bebasnya merasakan kebahagiaan. Tidak denganku, apalagi dengan suamiku-Kenzo Damar. Ini cerita kelanjutan dari kisah lamaku bersama dengan Juliano Aldebaran. Jujur, aku memang tidak bisa...