13. Cemburu

10 0 0
                                    

"Mas..." aku menepuk bahu suamiku. Dia menoleh, namun kedua alisnya justru saling bertaut dan bingung menatap wajahku. "Kamu manggil siapa?" tanyanya yang benar-benar bingung.

Sejujurnya aku memang belum terbiasa untuk memanggilnya dengan sebutan "mas", karena aku masih memanggilnya dengan namanya sendiri. Sebab aku memikirkan sudah tidak sepantasnya memanggilnya nama suamiku dengan namanya, aku memutuskan untuk mengubah nama panggilan dengan kata itu.

"Yaaa kamu. Emang disini ada orang lain selain kita berdua?"

"Nggak sih, cuma aneh aja kamu panggil aku pake sebutan itu."

Ada yang salah memangnya? Kenapa suamiku malah menjawab begitu? Dengan hembusan napas bahwa aku harus lebih bersabar, aku mengusap pipinya dan mengulas senyuman untuknya.

"Yaaa nggak papa kan? Nggak salah kan aku manggil kamu itu? Lagipula, aku mau ubah panggilan itu supaya ada romantis romantisnya gitu. Hehehehe."

Dia tertawa. Aku terduduk diatas pangkuannya lalu mengalungkan kedua tanganku hingga wajah kami berdua begitu sangat dekat. "Mas Kenzo... eh jangan deh, mas Damar."

Cup.

Dia mencium ku. Gemas sekali jika hubungan kami sudah seperti ini lalu sangat sulit untuk berjarak jauh—walaupun tempat kerja kami hanya dibagi pembatas jendela saja. Itupun kalau aku sempat ke ruang kerjanya ini. Yaaa jika tidak, bisa-bisa aku tidak menginjakkan kaki di ruang kerja ini—lalu bercengkrama manis seperti saat ini.

Jujur. Walupun satu kerjaan dengan suamiku, kadang kala aku juga terlalu sulit untuk bisa berduaan seperti ini. Bukan perihal karena kami pasangan suami istri, tetapi kami memang sudah menegaskan bahwa tidak perlu untuk sering-sering berduaan begini—apalagi masih dalam jam kerja.

Iya sih memang tidak apa-apa. Namun rasanya juga tidak kompeten, jika aku pribadi tidak menghargai waktu yang diberikan oleh mertuaku sendiri.

"Udah cantik, gampang baper, gampang banget jailin orang, gampang bikin badmood juga lagi. Istri siapa sih? Kenapa ngegemesin banget..." katanya yang mencubit ujung hidungku.

"Aku bukan available buat semua orang. Satu-satunya segel milik kamu, dan cumaaaa kamu. Bener nggak? Hehehehe."

Dia mengangguk setuju lalu mencium pipiku dengan gemasnya. "Iya cintakuuu!"

Tok, tok, tok.

Aku buru-buru turun dari pangkuan suamiku. Merapihkan pakaian yang sedikit berantakan lalu berpura-pura duduk di kursi tamu seraya membaca laporan.

"Iya masuk!" ucap suamiku.

"Kenzo aku—"

Aku menatap kepada tamu yang tadi mengetuk pintu. Ucapannya terhenti ketika aku melihat kedua bola matanya lebih dulu menatap keberadaanku. Tiba-tiba saja, hatiku merasakan sakit yang luar biasa. Aku mengetahui dia itu siapa dan untuk apa lagi datang kesini.

"Misi, sekretaris baru. Bisa minta tolong untuk keluar sebentar nggak? Saya ada perlu sama Manajer kamu dulu nih. Bisa kan?" katanya begitu sok manis.

Jujur, aku kesal mendengar perkataannya itu. Siapa dia. Kenapa berani sekali memintaku untuk keluar terlebih dahulu. Lalu untuk apa dia berbicara empat mata dengan suamiku begitu?

Tanpa basa-basi lagi, aku membawa laporan lalu melewati mereka berdua tanpa memberikan jawaban kepada perempuan itu.

Selang aku duduk dikursi ruang kerja ku, aku melihat pintu ruang kerja suamiku ditutup rapat lalu tirai jendelanya ikut serta juga. Sebenarnya aku bingung dengan perempuan itu yang menurutku... dia tidak ada sopan santunnya sekali. Ahhh, kenapa dia harus masuk ke tempat ini lagi sih. Bagaimana jika... tidak tidak.

HARIAN JUNIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang