15. a Day with My Husband

7 0 0
                                    


Sepintas cahaya menerangi seluruh ruangan. Awal yang terlihat biasa-biasa saja, kini sudah dibersihkan dengan tenaga ekstra ketika pekerjaan kantor sudah libur sesuai jadwalnya. Sekarang saatnya bersantai santai menikmati secangkir kopi bersama sandwich diatas meja.

Buku yang berada diatas pangkuan, kacamata baca yang menggantung pada tulang hidung, serta kedua kaki yang menikmati segarnya air kolam renang bagian belakang.

Burung-burung sudah berkicau di atas genteng rumah. Semilir angin pagi terasa nikmat ketika bibir mulai menyesap secangkir kopi panas dengan perlahan-lahan.

"Pagi istriku," kalimat indah yang terdengar ketika sentuhan bibir mendarat di kening. Mas Kenzo datang dengan pakaian olahraga, mendatangi ku di belakang rumah.

Menoleh seraya tersenyum, membalasnya dengan mengambil tangan kanan lalu mencium punggung tangannya. "Pagi juga mas."

Dia ikut duduk di samping kiri ku. Melepaskan kedua sepatu hingga towel yang tersimpan pada lehernya, aku bisa melihat bahwa mas Kenzo butuh kesegaran setelah olahraga tadi.

"Mau kemana, kok aku ditinggalin gini sih? Baru juga duduk sebentar," ucapnya yang menahan lenganku hingga aku ikut terduduk lagi.

"Ke dalem, buatin mas minum. Kelihatannya kamu haus banget makanya aku mau buatin kamu—"

"Aku udah beli minum tadi di pinggir jalan. Lagipula kamu belum mandi kan? Gimana kalau kita berenang aja, mumpung lagi di rumah mamah."

Iya benar. Rumahku—maksudnya rumah Kenzo memang tidak ada kolam renang seperti di rumah mamah. Rumah orang tua Kenzo memiliki segalanya. Hampir-hampir aku sampai betah kalau sudah menginap disini, apalagi menikmati keindahan pagi hari seperti membaca buku hingga menyegarkan kaki di air yang setengah dingin ini.

Karena belum membersihkan tubuh sehabis bersih-bersih, aku memilih untuk membuat kopi dan membaca buku di halaman belakang. Jarang sekali jika melihat pekerjaan kantor, lalu aku bisa santai-santai seperti saat ini. Tidak mungkin juga kalau aku harus bersantai—sedangkan suamiku terus lelah karena pekerjaannya.

Dia memeluk tubuhku dari belakang. Aku hanya bisa menerima dengan baik dan mengusap pipinya begitu gemas. "Ada sisa sandwich tuh diatas meja, buat kamu aja. Aku udah kenyang tadi makan setengah doang."

"Kenapa nggak dihabisin?" tanyanya yang seolah-olah tidak pernah tau bagaimana porsi makanku sedari dulu.

Aku menggeleng, setelah itu kembali membaca buku dengan kaki menikmati air kolam renang lagi. Kenzo meraih piring berisikan sandwich yang telah aku buat. Dengan sangat lahap dan berselera, aku tertawa gemas ketika melihat mas Kenzo mulai mengigit ujung sandwich itu.

Dia justru melihatku dengan tatapan tidak biasanya. "Kenapa malah ketawa, pake lihatin aku segala lagi."

"Lucu aja sih, mas. Kamu makan kayak Arjuna, masih aja berantakan. Hehehehe."

Dia hanya memajukan bibirnya yang tertanda kesal kepadaku. Tapi aku tidak mau perduli dulu karena aku akan mengerti bagaimana resikonya, jika aku tetap menertawakannya makan seperti itu. Jujur, aku ingin tertawa lebih keras, namun apa boleh buat jika aku sudah terkunci begini.

Rasanya mulai beda. Sejak mas Kenzo mengajakku pergi ke rumah mamah Rena, aku menjadi betah dan memintanya untuk tinggal disini dulu selama beberapa hari. Namun, Kenzo membantah semua keinginan ku dengan lantaran hubungan rumah tangga kami, harus lebih di privasi.

"Yang, kita ikut program kehamilan aja yuk?"

"Uhuk, uhuk, uhuk..." aku mendadak terbatuk setelah mendengarkan perkataan dari mas Kenzo tadi.

HARIAN JUNIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang