"Kamu mendingan nggak usah masuk kantor dulu deh, masih batuk-batuk begitu. Mamah takut kalau kamu tuh—"
"Mah... aku tuh nggak papa. Kan di kantor juga sama mas Kenzo. Lagian yaaa kalau misalnya aku kenapa-kenapa, kan samping ruangan aku juga ruangannya mas Kenzo."
"Tetep aja, sayang... mamah cuma mau kamu nggak kenapa-kenapa. Kalau misalnya kamu lagi hamil cucu mamah, mamah lebih nggak mau kamu kerja begitu. Udah di rumah aja."
Aku pasrah. Mamah Rena selalu saja begini jika aku mengalami masalah. Tadi pagi-pagi sekali, tiba-tiba saja aku mengalami sakit tenggorokan dan tidak bisa bersuara sedikitpun.
Ini sudah jam 8 pagi. Waktunya masuk ke kantor sudah terlambat lima menit yang lalu. Karena ulah mertuaku, aku benar-benar tidak jadi pergi ke kantor karena pesanan taksi ku sudah datang di depan rumah.
"Tadi mamah udah bayar taksi pesanan kamu. Udah lebih baik kamu disini, sama mamah dan sama Kinara. Ya sayang?"
Aku mengangguk. Mamah menuntunku ke ruang keluarga lalu menyalakan televisi karena aku suka merasa bosan. Setelah itu, mamah melenggang pergi ke dapur—yang mungkin akan segera melakukan aksi debat dengan perabotan memasaknya.
Kalau aku ikut kesana, mamah lebih lagi melarang ku untuk membantunya hanya dengan mengiris sayuran. Mungkin kalau aku di rumah sendirian, aku bisa memasak lebih leluasa walaupun Kenzo telah melarang ku dengan peringatan lebih. Aku tidak masalah. Lagipula, dia pergi bekerja, jadi siapa yang tahu kalau aku melakukan pekerjaan di rumah kan?
Baru menonton televisi, benar saja aku bosan. Rasa suntuk menyerang diriku ketika aku seharusnya pergi bekerja, melakukan tugas sebagai sekretaris Manajer suamiku sendiri.
"Kakak ngapain?" aku terkejut. Melihat Kinara datang lalu menepuk bahuku, lantas menoleh. "Kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain."
Dia hanya membulatkan bibirnya. Sehabis itu pergi ke dapur dan membantu mamah yang tengah memotong wortel. "Hhh—bosen. Apa gue main aja ya, sama Arjuna? Ah pasti nggak boleh juga sama mamah."
"Sayang... kamu sudah sarapan belum?"
Aku menoleh. Menatap mamah yang tengah mengajakku berbicara lalu menganggukkan kepala. "Udah tadi di kamar."
Tunggu sebentar. Aku tidak ingat kalau aku sudah makan. Yang ku ingat, aku hanya melakukan pekerjaan untuk suamiku berangkat bekerja dan aku juga mempersiapkan diri untuk merapihkan pakaian yang ku pakai. Tapi, apa benar aku sudah makan? Aku lupa betul.
"Tapi tadi kata Kenzo, kamu belum sarapan lho, nak. Kamu mau bohongin mamah ya? Hayu ah sarapan dulu, mamah buatin kamu salad sayur ya, mau?"
Aku tetap menolak. Menggelengkan kepala seraya memberikan pengertian bahwa aku sudah makan pagi tadi di kamar.
Ting.
Ponselku berdering. Melihat siapa yang mengirim pesan, ternyata nama Alvaro terpampang jelas di lockscreen ponselku.
< Alvaro Argi
Kenapa gak masuk hari ini? Lo sakit? Satu divisi lo lagi trending topik, soal lo gak masuk hari ini. Jangan buat gue khawatir dong, lo kenapa? | 8:21 AM
"Varo... Varo," umpat ku tertawa melihat isi percakapan Alvaro seperti itu. Dia memang sangat pengertian. Apa-apa yang tidak ku suka bahkan aku mengalami masalah, dia orangnya yang selalu menyemangati ku dalam bentuk kasih sayang seorang teman.
Sifat Alvaro seperti Naufal, keduanya persis sekali kalau mereka menjadi adik-kakak yang begitu friendly—sehingga membuatku langsung teringat masa-masa dulu, ketika Naufal suka membantu masalahku dengan Juliano. Walaupun bagi kalian mereka berbeda, namun kataku mereka sifatnya benar-benar sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARIAN JUNIATHA
ChickLitSequel JUNI & JULI. Aku paham, kenapa bisa orang lain begitu bebasnya merasakan kebahagiaan. Tidak denganku, apalagi dengan suamiku-Kenzo Damar. Ini cerita kelanjutan dari kisah lamaku bersama dengan Juliano Aldebaran. Jujur, aku memang tidak bisa...