2. Juliano?

58 3 1
                                    

"Mah, kalau Juni belum bisa hamil dalam waktu dekat lagi, Juni takut Kenzo mandang perempuan lain—karena Juni, Kheyza nggak bisa lahir ke du—"

"Jangan ngomong seperti itu, sayang. Ingat lhooo, ucapan itu adalah sebagian dari doa. Kalau memang nanti rezeki dateng ke kamu, pasti kamu bisa hamil lagi. Mamah juga doain kamu terus kok, sayang."

"Tapi mahhh, Juni cuma takut dia—"

Mamah mengusap kepalaku. Bibirnya mengulas senyuman seraya memintaku untuk tidak berpikiran yang macam-macam. Aku memang percaya dengan takdir dari Tuhan, tapi aku hanya takut kalau sewaktu-waktu nanti ketika aku belum memberikan suamiku seorang anak, dia akan meninggalkanku dan mencari perempuan lain.

Pikiran ini terus saja membuat hari-hariku begitu buruk. Tidak bisa dibayangkan jika suamiku pergi lalu menggandeng perempuan lain tanpa sepengetahuan ku. Ahhh, ternyata begini kalau sudah menikah. Banyak sekali cobaan melebihi hidupku diusia remaja dulu.

Hari Senin, waktunya suamiku pergi bekerja. Daripada aku hanya diam sendirian dirumah saja, akhirnya aku pergi ke rumah mamah dengan diantar suamiku ketika berangkat kerja pagi tadi. Tidak ada yang berubah ketika aku masuk kedalam kamar remaja ku, yang banyak sekali kenangan masalalu bersama dengan Juliano.

"Kamu mau mamah masakin apa?" tanya mamahku yang masih sibuk membersihkan tempat tidurku dengan seprai baru. "Kalau masih mau makanan biasa kayak dulu, mamah masakin sekarang. Mau?"

"Terserah mamah aja. Tapi Juni mau disini dulu ya mah?" melihat mamahku menganggukkan kepalanya seraya tersenyum, aku jadi ingat ketika dia memberi dukungan penuh ketika aku tidak lagi membawa perut buncit ku dengan menunjukan kamar hidupku ini.

Setelah sudah mengganti seprai baru, mamah turun kebawah dan aku mulai melihat sesuatu yang sampai saat ini masih terpajang dengan baik. Figura besar dengan menampilkan fotoku bersama dengan Juliano. Kalian pasti masih ingat betul, ketika kamarku ini ada sebuah figura besar dan aku sangat sayang ketika aku tidak mau ada siapapun yang berani mencopotnya dari dinding sana. Walaupun itu suamiku sendiri.

"Pasti banyak debunya," gumamku yang mengambil kemoceng didekat meja belajar ku dulu. Karena jaraknya yang begitu tinggi, aku mengambil kursi lalu membersihkan debu untuk figura itu agar tetap tampil dengan bersih.

Foto itu sudah sangat lama. Bahkan aku bisa melihat dari frame berwarna hitam sudah berubah warna sedikit. Ingin mengganti frame tersebut, tapi aku tidak mau nantinya akan merusak fotoku bersama dengan kesayanganku dulu. Ehhh maksudku... temanku dulu. Hehehehe.

"Halo, Aldebaran! Apa kabar? Udah punya anak, sombongnya minta ampun nihhh. Kapan ngajak gue main lagi? Ah rese nih kalau gue masih mau main sama-sama, sama lo gini."

Aduh, kacau banget. Kenapa aku jadi seperti ini sih. Siapa yang mau dengar perkataanku coba? Yaaa apalagi dengan laki-laki itu yang kini sudah mempunyai seorang putri cantik... sudahlah. Kalau aku semakin banyak berharap, semakin sulit juga untuk menerimanya dengan baik.

"Udah bersih lagi deh," kataku yang kini sudah membersihkan figura. Turun dengan hati-hati karena aku berdiri disebuah kursi, namun entah mengapa kursi ini mendadak goyang dan membuat tubuhku tidak seimbang.

"Ahhh!" brugh. Benar saja, aku terjatuh dari kursi yang lumayan tinggi. Sikut dan lututku terasa begitu sakit dan entah mengapa aku benar-benar bodoh kalau sering terjatuh seperti ini. "Sakittt ihhh!"

Melihat sikut dan lututku, ternyata begitu memar dan aku takut kalau suamiku mengetahui ini—dia akan marah apalagi dia akan mengunci mulutnya untuk tidak berbicara denganku sementara. Aku harus apa? Kalau aku turun kebawah dan meminta batu es untuk mengompres lukaku, pasti mamah juga akan memarahiku dan mengadu kepada suamiku nantinya.

HARIAN JUNIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang