Sekarang aktivitasku sudah kembali normal. Suamiku sudah mau sarapan, dibuatkan bekal dan juga mau makan ketika aku buatkan makanan jika suamiku sudah pulang bekerja. Setelah menyiapkan bekal, mengantar suamiku sampai kedepan halaman, dan menyelesaikan pekerjaan rumah disetiap harinya, aku mensejajarkan kedua kakiku di ruang tengah sambil menonton siaran televisi.
Ting. Ponselku berdering diatas meja. Mengambil dan melihat siapa pengirim pesan, aku bergegas membuka kata sandi ponselku.
Papah Hendra. Ternyata dari mertuaku. Membacanya dengan seksama lalu membuat mataku membesar seperti ingin keluar. Namun aku terheran-heran dengan isi pesan yang dituliskan oleh papahku seperti itu. Isinya begini:
< Papah Hendra
Menantuku tersayang. Kamu satu-satunya harapan papah dan bisa mengendalikan emosi suamimu sendiri. Tolong datang ke kantor sekarang dan berpakaian yang rapih seperti ingin bekerja di kantor. Tolong banget ya, Ni, kamu datang kesini. Papah tunggu. | 8:15 PM
Ke kantor? Sekarang? Apa aku harus kesana saja? Tapi bagaimana kalau suamiku nanti bertanya dan mengapa aku bisa ada ke tempat kerjanya? Tapi ketika aku membaca pesan tadi sekali lagi, aku terngiang-ngiang dengan ketikan mertuaku soal emosi suamiku sendiri.
Apa yang terjadi dengan suamiku? Apa ada masalah yang terjadi ditempat kerja dan tidak biasanya mertuaku mengirimkan pesan mengenai persoalan tempat kerjanya itu. Ini benar-benar tidak bisa aku percaya dengan panjang lebar.
Dengan tidak membalas pesan mertuaku, aku bergegas naik ke lantai atas dan segera bersiap untuk pergi ke kantor mertuaku juga tempat suamiku bekerja. Butuh kemeja dan rok bahan untuk pakaian yang sopan ketika aku datang ke kantor nanti. Akhirnya, aku menemukan kemeja maroon lengan panjang dan rok bahan hitam yang menurutku sangat pas.
Mengganti pakaian dan mengambil sepatu hak yang membuatku memijit batang hidung, sudah sangat lama dan memang tidak terlalu suka memakai hak yang tingginya lumayan membuat kakiku pegal bukan main. Yaaa mau bagaimana, kata mertuaku pakai pakaian kantor dan harus memakai hak seperti ini jadinya.
"Harus makeup nggak sih? Terus harus pake anting juga? Ah!" geram karena perlu makeup dan pakai sedikit perhiasan, aku jadi tidak suka menatap seluruh tubuhku begini jadinya. Selesai memoles makeup dan memasangkan anting, aku melihat seluruh tubuhku dan menatapnya tidak percaya. "Yakin nggak bakal dimarahin sama Kenzo nih? Kalau nanti dimarahin gimana?"
"Udah telat banget lagi. Papah kan harus minta gue cepet kesana. Yaudah deh, mau nggak mau gue harus bisa tampilan seperti ini. Huhhh. Semoga nggak marah dia."
Mengambil slingbag dan bergegas turun kebawah, aku tak lupa mengambil kunci mobil yang sengaja ku letakkan didalam laci ruang tengah. Biarkan saja kali ini aku mengendarai mobil sendiri. Daripada aku harus memesan ojek online yang lama sekali harus menunggu dulu, lebih baik aku membawa mobil sendiri untuk lebih cepat sampai.
Berpacu pada kecepatan aku mengendarai mobil, aku sangat bersyukur karena perjalan menuju tempat bekerja suamiku lancar dan baik-baik saja. Cukup memakan waktu setengah jam, akhirnya sampai ditempat parkir perusahaan mertuaku dan tak lupa mengunci mobil secara otomatis.
"Semoga nggak ada yang ngenalin kalau gue istrinya Kenzo," gumamku ketika kedua langkah kakiku mulai menginjak lantai perusahaan. Melihat resepsionis yang terlihat sepi, aku mulai bergegas untuk segera bertanya mengenai pemilik perusahaan ini.
"Permisi, mbak. Saya ada janji dengan bap—"
"Ibu Juniatha, ya? Tadi saya baru dapat kabar dari pimpinan, bahwa ibu sudah ditunggu diruangan bapak Kenzo Damar di lantai 5."
Resepsionis dengan nama yang berbeda seperti waktu lalu yang aku lihat, kini memberitahuku kalau aku sudah ditunggu diruangan tempat bekerja suamiku lantai 5. Dengan menganggukkan kepala dan memberikan senyuman kepadanya, aku mengambil ponsel didalam slingbag karena mengeluarkan bunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARIAN JUNIATHA
ChickLitSequel JUNI & JULI. Aku paham, kenapa bisa orang lain begitu bebasnya merasakan kebahagiaan. Tidak denganku, apalagi dengan suamiku-Kenzo Damar. Ini cerita kelanjutan dari kisah lamaku bersama dengan Juliano Aldebaran. Jujur, aku memang tidak bisa...