Hari ini aku sudah janjian dengan Alvaro untuk bertemu di tempat kerjanya. Iya, aku tau kalau tindakanku kali ini akan membuat suamiku marah atau tidaknya. Tapi aku hanya tidak mau perasaanku terus mengira, bahwa suamiku punya hubungan dengan perempuan lain. Aku bukannya curiga. Namun, pikiranku terus kemana-mana, ketika suamiku tidak mau bawa bekal dari rumah, sarapan sebelum berangkat kerja—dan makan ketika aku sudah memasak untuknya disaat pulang kerja.
Bukannya itu hal yang formal, ketika seorang istri mencurigai suaminya sendiri karena banyak sebab yang menuntut untuk dicari tau lebih dalam lagi? Pasti kalian juga akan mendukungku—walaupun di sebagiannya ada yang tidak suka dengan tindakanku, ketika: suami itu udah pasti bekerja, jadi nggak musti dituntut untuk dicurigai.
Iya aku tau. Bukannya aku melarang kalian untuk berkomentar tentang keburukan diriku. Hanya aku tidak mau ketika rumah tanggaku ini tidak berjalan dengan baik, dengan perubahan suamiku yang tidak bisa ditebak sama sekali. Iya iya, hubungan yang baik diantara pasangan memang sudah pasti saling percaya. Namun kalau semakin lama untuk dipertahankan, semakin sakit juga untuk dirasakan, bukan?
"Ayo masuk, Ni. Kebetulan gue udah ngomong sama bokapnya Kenzo, jadi, dia juga nggak keberatan kalau lo—"
"Permisi, pak, Alvaro. Saya baru dapat pesan dari atasan, kalau bapak disegerakan untuk datang ke ruangannya."
Ucapan Alvaro kepadaku tiba-tiba terhenti, karena salah satu karyawan di meja resepsionis memberitahunya. Dengan masih memandangku, Alvaro pun mengangguk seraya menyunggingkan senyumannya. "Baik, terima kasih Lina... ayo Ni, kita udah ditunggu diatas."
Resepsionis dengan nama Lina itu tersenyum juga kepada Alvaro. "Sama-sama, pak."
Aku mengikuti Alvaro yang entah membawaku kemana. Tapi aku sangat penasaran dengan kerja suamiku di kantor ini, yang sedang apa yang dilakukan saat ini. Memasuki lift dan menekan tombol 7, mungkin Alvaro akan membawaku ke ruangan suamiku. Mudah-mudahan saja.
Menunggu lift ini terus naik keatas, semakin berhenti disetiap berurutan angka—semakin banyak juga karyawan lain yang masuk. Aku tidak banyak berharap kepada mereka yang melihatku, bahwa aku ini istri dari Manajer—Kenzo Damar, dan juga menantu dari Direktur kantor ini. Jujur... aku justru tidak mau kalau banyak orang yang mengetahui ku. Hehehehe, takut semakin banyak yang membenciku saja.
"Al, kalau mereka ada yang ngasih tau Kenzo gue ada disini, gimana?" tanyaku yang berbisik kepada Alvaro. "Yaaa kenapa... justru bagus dong kalau Kenzo tau ada istrinya disini?"
"Tapi gue nggak mau mereka tau, Al."
Ting. Lift sudah terbuka dan memperlihatkan angka tujuh diatasnya. Aku tidak sadar sampai-sampai tangan Alvaro menarikku begitu cepat. Untung saja selama ada didalam lift tadi, benar-benar tidak ada yang mengenaliku. Jadi lega rasanya.
Dan setelah berjalan melewati meja sekretaris yang berada di depan, aku bisa melihat ada tulisan ruang Direktur Utama yang terpampang jelas diatas pintu. Alvaro mengetuk pintu itu, sampai ada sahutan dari dalam—barulah aku dengannya masuk kedalam dan melihat siapa yang berada disana.
Ternyata bukan keruang kerja suamiku. Dan dia mertuaku, bapak Hendra Bwana yang terhormat sedang duduk dengan memegang sebuah pena dan menandatangani beberapa berkas diatas meja kerjanya.
"Selamat siang, pak. Saya sudah membawa menantu bapak—emmm maksud saya, saya sudah membawa Juniatha."
Mendengarkan Alvaro berbicara seperti itu, pikiranku sudah melayang kemana-mana. Aku tidak bisa menebak karena Alvaro yang tiba-tiba memintaku untuk ke kantor ini. Tapi ada sesuatu yang membuat diriku bingung, ketika melihat pak Hendra mengambil sebuah berkas bersampul cokelat lalu diserahkan kepada Alvaro.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARIAN JUNIATHA
ChickLitSequel JUNI & JULI. Aku paham, kenapa bisa orang lain begitu bebasnya merasakan kebahagiaan. Tidak denganku, apalagi dengan suamiku-Kenzo Damar. Ini cerita kelanjutan dari kisah lamaku bersama dengan Juliano Aldebaran. Jujur, aku memang tidak bisa...